Mimpi dan Imajinasi

Seandainya saja jadwal kehidupan dan kematian bisa ditebak ataupun ku ketahui sebelum kujalani kenyataannya. Tentu, pasti kupilih yang terbaik, kuhindari ataupun langsung kusingkirkan jika itu memang terburuk untukku.

Jika begitu kenyataannya, kurasa hidupku pasti akan aman, lancar, dan bersenang-senang terus-menerus. Ini dia... Ini baru yang namanya hidup impian.

“Hidup impian ?.”

“Ah… Rasanya ingin sekali seperti itu, tapi mungkin ini akan terjadi nanti…” ”Nanti ?.”

”Ah…masih lama juga kedengarannya.”

”Sampai kapan ?.”

”Ah… kenapa kau tanya, tentu aku tak’ tahu. Memangnya aku TUHAN.  Bukankah itu adalah rahasia ALLAH bukan ?.”

Jika bisa ku ketahui jalan hidupku, kurasa aku akan cepat mengalami kejenuhan.

”Bagaimana tidak ?.”

”Setiap waktu kuhabiskan dengan bersenang-senang, tetapi kesulitan hanya

terbentuk dalam sebuah kata namun itu tidak nyata. Jika pun itu terjadi, pasti itu bukan sesungguhnya kehidupan. Kehidupan sesungguhnya adalah suatu keharusan untuk menerima takdir, menerima takdir berarti menjalani kehidupan dengan ikhlas, dan dengan ikhlas semua zat-zat positif akan lebih produktif daripada negatif. Dengan itu, emm…. kupikir kehidupan yang dijalani akan jauh lebih baik bukan ?.”

Kesimpulannya, menerima dan menjalani dengan ikhlas suatu kehidupan yang sudah dikehendaki-Nya adalah pilihan yang terbaik dan paling bijaksana, kurasa seperti itu. Tetapi di satu sisi, sesungguhnya hal itu paling sulit untuk dilakukan.

“Apa aku menerima takdir ?”.

”Tentu saja. Ya..... Aku menerima takdir”. Tetapi tidak untuk ini….”

”(Maksudnya apa ?.)”. Pasti kata tanya itu yang langsung ada di pikiran kawan bukan saat ini ?.

Namun, ini bukan statement pembangkangan, mungkin kedengarannya ya, karena subject dari awal kalimat itu pernyataannya ’tetapi’. Karena alasannya sederhana saja, aku bukan pembangkang, apalagi ini menyangkut persoalan agama.

Bukankah agama mengajarkan untuk menjemput kesuksesan yang sudah digariskan-Nya itu. Aku menerima takdir, tetapi tidak untuk ini… Untuk begitu saja mau menerima sepenuhnya. Karena merubah kehidupan untuk jadi lebih baik dan lebih baik lagi—begitu seterusnya adalah suatu keharusan bukan ?.

Ah... rasanya terdengar seperti kurang puas dengan kehidupan yang kujalani sekarang, tetapi bukan begitu maksudku.

”Kawan tentu paham bukan maksudku ?.”

Karena jika hanya memasrahkan diri dengan takdir, tanpa berusaha untuk melakukan suatu apapun untuk menjadikan mimpi-mimpi itu nyata adalah sebuah ke-maha-tololan, dan itu pasti ke-maha-tololan nomor 1. Itu pendapatku.

Jika aku sebut mimpi, khayalan, dan imajinasi, memang… Kuakui mereka tak hanya sekedar mempengaruhiku, tetapi mereka itu intinya, pusatnya, induknya, dan biang keroknya, kurasa kata yang terakhir itu lebih tepat, lebih mewakili mungkin. Ya…mereka yang t’lah ‘mencuci otakku’ hingga jadi demikian adanya, jadi seperti ini. Atau mungkin ada benarnya juga isi dari beberapa buku ’kumpulan binatang itu’.

..........’Shio ular berkepala sapi’  adalah seorang pemimpi kelas ’tinggi’ dan bukan kelas Teri.

Mereka juga yang membuat aku berani untuk jadi pemimpi, pengkhayal, pengimajinasi, setelah ini kawan akan kuberitahu. Tetapi mungkin, memang agak sedikit gila, kedengarannya. Jikalau di luar sana ada seseorang ataupun banyak sekalipun mengatakan….

“Kau sudah gila ?...”.

Pasti kujawab dengan “Ya…aku memang sudah gila”.

Kawan tahu, kenapa aku ‘gila’ ?.

Bayangkan, terkadang jika mobil mewah melintas didepanku bak model seksi yang sedang beraksi di atas catwalk, langsung cukup kukatakan dalam hati...

“Nanti kubeli mobil yang jauh lebih hebat dari itu”. Kenyataannya sekarang, tidak bisa.

Jika ada rumah mewah kulewati.

“Nanti kudapatkan rumah jauh lebih besar dan jauh lebih luas dari itu”. Kenyataannya sekarang, tidak bisa.

Jika keindahan sesuatu hal atau apapun itu yang berada di dalam sebuah negara dan bentuk kesucian dari agama membuatku memikirkannya, langsung kukatakan.

“Heeeyy….Lihat, nanti akan ku kunjungi negaramu dengan kuboyong kedua orangtuaku kesana”. Kenyataannya sekarang, apalah dayaku, tidak bisa juga.

Jadi sekarang, kiranya pertanyaan apa yang pantas untukku. Mungkin seperti ini…

“Kau sekarang bisa apa ?”.

“Aku sekarang hanya bisa jadi pemimpi, pengkhayal, dan pengimajinasi, itu saja…”.

Mungkin, memang terdengar agak menjijikkan. Terlalu banyak berkhayal, tentu tidak bagus bukan ?.

Tapi perlu kawan ketahui, bahwa semua ini memang benar adanya dan bukan hanya basa-basi belaka. Bukankah di dalam hidup sudah terlalu banyak basa-basi, jadi tak’ bagus juga menambah basa-basi di dalam kehidupan ini.

“Kau nanti bisa apa ?”.

“Ya…aku nanti bisa mendapatkan semuanya”.

“Apa itu pasti dan apa kau yakin dengan ucapanmu itu  ?.

“Ya… aku yakin sekali”.

Sesungguhnya yang paling kutahu, mimpi yang sangat kuat adalah awal dari keberhasilan untuk meraihnya, walaupun itu hanya baru dimulai dengan setitik. Meskipun begitu, memulainya dengan setitik adalah sesuatu hal yang terpenting. Dengan modal setitik pula, pada akhirnya jalan-jalan yang sebelumnya tertutup pasti akan terbuka. Namun yang pasti, semua itu perlu waktu. Dan aku akan menunggu sampai waktu itu terjadi dan membawaku untuk berjalan diatas jalan yang selama ini aku inginkan. Dan tentunya juga, aku takkan berdiam diri hanya dengan menunggu, karna aku pasti melakukan sesuatu untuk mewujudkan jalan-jalanku sendiri yang mulai kurintis saat ini.

Karna berani bermimpi berarti berani menantang hidup, dan saatnya akan datang nanti, mimpi yang sekarang hanya lah bualan belaka akan menjadi kenyataan pada akhirnya esok. Dan, aku akan terus menunggu saat-saat itu terjadi.


Ada seorang bijak seolah seperti menguntungkan, menguntungkan sekali, ini persis seperti simbiosis komensalisme. Ya…simbiosis komensalisme, yang kurang lebih berarti : ”Karena adanya si A, menguntungkan si B. Tetapi tidak adanya si B tidak berarti apa-apa bagi si A, menguntungkan tidak merugikan pun juga tidak.”

Dalam hal ini kasusunya adalah hubungan antara orang bijak dengan konsumen statement (seseorang yang meresapi perkataan mereka. Baca : orang bijak). Konsumen statement diuntungkan karena mendapatkan pelajaran hidup dari orang bijak, tetapi bagi orang bijak tidak adanya konsumen statement tidak berpengaruh terhadapnya. Hal pengetahuan semacam ini kudapat dari buku adikku yang kini duduk di bangku sekolah dasar, dalam buku IPA miliknya.

Aih... tak’ pernah kusangka kudapat ilmu tinggi ini dari sebuah buku yang kuanggap tak penting itu.

”Tak penting ?”. Sombong sekali bukan diriku kawan.

”Apa maksudmu ?”.

Ya... tak penting, karna kemahatololan dalam hal pemikiranku ini yang bisa menjerumuskan diri ini untuk meremehkan sebuah, seseorang, atau segala sesuatu hanya dari sekali lihat. Belagu sekali diri ini. Sudah tolol, belagu pula.

”Malam sepi, di sampingku sejauh 3 meter adikku belajar, bukunya pun berserakan, kebetulan aku sedang menemaninya belajar, dan dari bermacam-macam buku yang membosankan itu terselip buku dengan cover hijau bergambar kodok, pikiranku sedang kalut, melakukan sesuatu pun rasanya enggan. Mencoba mengambil buku tersebut, membukanya secara acak, dan pada halaman 56 kutemukan ilmu tinggi dari buku yang kuanggap tak penting itu”. Begitulah keadaan saat itu.

Peribahasa asing berikut ini mengena sekali ke diriku, menerobos ruang-ruang dangkal pikiranku. ”Don’t judge a book by it cover”.

Ya… “jangan meremehkan sebuah, seseorang, atau segala sesuatu hanya dari sekali lihat”. Begitulah makna yang kutangkap dari peribahasa asing itu.

Tetapi sayang, sungguh sayang... Namun seorang bijak terlihat abstrak, tak berwujud, tak bisa dilihat secara nyata untuk kini.

“Terus kenapa ?. Jika seandainya orang bijak hidup sampai sekarang !”.

Jawabannya mungkin… ”Setidaknya aku bisa berguru dengan mereka. Belajar bagaimana caranya bisa merangkai kata-kata sedahsyat itu—yang bisa membuat banyak orang terpengaruh sambil mengatakan...

“Oh....begitu. Ya.... benar juga”. (sambil mengangguk takjim)

Tetapi lihat, apa yang mereka buat !. Gaung perkataannya, tak diragukan lagi. ‘Membumi’. Kalimat-kalimat ajaibnya seolah diramu dengan kandungan magis yang kuat, karena poin terbesar dari ramuannya dibangun berdasarkan pengalaman hidup yang dijadikan tiang-tiang pancang untuk pondasinya, kokoh bukan ?.

Apa yang t’lah tercipta dari statement-statement yang dihasilkan oleh orang bijak memang benar adanya, dan salah satu statement yang kudapat itu adalah…. yang membuatku mengatakan…

“Emmmmmmmm…ya…ya…benar juga…”.

Dan pelajaran itu mengajarkanku tentang…

“Kenangan tidak bisa untuk dilupakan, tetapi tersimpan untuk dikenang”.


Langkah hidup yang secara sengaja atau tak’ sengaja dipilih, dan t’lah dijalani pasti meninggalkan sesuatu, dan sesuatu itu tertulis manis dan juga pahit dengan nama bekas.

Ya… Bekas, macam luka di kulit yang pasti menimbulkan bekas luka, meskipun secara waktu luka itu akan sembuh. Tetapi satu hal yang harus disadari, kulit yang sudah terluka mungkin takkan bisa kembali normal seperti sedia kala, seperti sebelumnya, sebelum luka itu ada.

Kenangan pun tak jauh berbeda dengan bekas luka di kulit, karena ia akan selalu seperti itu. T’lah tercipta dan meninggalkan bekas. Ia—kenangan itu selalu ada, dan segera muncul ke atas permukaan jika kawan memilih untuk mengingatnya. Menurutku, kenangan akan selalu setia dengan tuannya. Jika kawan menginginkannya, mereka akan segera datang dan membayangi kawan sepanjang hari itu, atau mungkin berlanjut di hari selanjutnya.

Bagiku, kumpulan kenangan yang amat banyak dan mengesankan itu terangkum hanya dalam satu kata, suku kata asing, memorabilia. Setelah aku duduk di tingkat menengah pertama. Mengenakkan celana pendek, dengan setelan seragam wajib keseluruhan putih-biru. Begitu juga dengan potonganku dulu yang menurutku amat mengesankan itu. Ah.. kala itu, memang mengesankan bagiku.

Ah…waktu itu. Bagaimana tidak mengesankan. Rambut tersisir klimis. Dan minyak rambut lavender adalah andalanku.

”Minyak rambut itu, apa kawan tahu ?”.

Kuberitahu jika kawan tidak tahu ”Tempatnya berbentuk oval dengan cover depannya selalu saja tergambar raja atau ratu. Didalamnya, minyak rambut itu berwarna hijau muda, sangat menarik. Menarik bagi anak kecil mungkin, dan itu aku”.

Ah…jadul sekali, karena yang pasti minyak rambut jelly adalah trendcenternya kala itu. Tapi tak’ apa, karena minyak rambut jadul itu adalah kepercayaan diriku nomor 1—berikut rambut yang tersisir sangat rapi sekaligus mengkilap. Aih… mengesankan sekali.

Rapi plus mengkilap ?... Karena kuhabiskan hampir kurang-lebih 3 menit di depan kaca untuk menata rambut sehingga benar-benar terbelah di tengah-tengah. Dan konsekuensi yang harus ku bayar dari itu adalah dengan berolahraga gratis, tentunya… Ini pasti menyehatkan tubuh, tetapi ini bukan lazimnya olahraga. Olahraga pagi yang paling sering kulakukan adalah skotjam 15x, juga push-up 15x.

“Jika kamu telat lagi, bapak akan senang hati menambah hukumannya jadi 15x lagi”. Ujar Pak Kukuh dengan bertolak pinggang sambil tersenyum 80° sorong bibirnya hanya ke arah kiri dengan kumis ‘tuanya’ yang khas—melintang panjang dan melingkar-lingkar di kedua ujung kumisnya persis ikan yang biasa dijadikan menu pecel itu.

Guru olahraga—seorang penegak peraturan yang berkarakter sama dengan pak Kodri—guruku—spesialisnya mata pelajaran ekonomi—saat aku duduk di SMA Islam nantinya.

Ya…tak diragukan lagi, ini benar-benar sungguh belah tengah, dan tak kubiarkan 1 cm pun melenceng dari seharusnya—yang nantinya takkan berbentuk belah tengah. Ah… Tak bisa kubayangkan, jadi kacau nantinya kepercayaan diriku.

Dan kemudian, tak lupa juga kubangun sedemikian rupa dari kepercayaan diriku nomor 2. Jika saja seandainya tak’ kuciptakan kepercayaan diriku nomor 2, tidak ada atau dihilangkan begitu, ungkapan ini lebih tepat.

“Ibarat seperti makan sayur tanpa garam”. Pasti kurang sedap bukan ?. Kurang sedap juga hal itu dipandang mata. Karena bagiku, kepercayaan diriku nomor 1 dan 2 saling mengikat erat, dan tak’begitu saja dapat dipisahkan satu sama lain.

Meski punya rambut lurus, tetap kudirikan rambut depanku sedimikian rupa berdasarkan artificial intelligent, maksudku agar secara tampilan keseluruhan jadi terlihat lebih menarik, itu menurutku. Dan jambul itu yang disebut dengan kepercayaan diriku nomor 2. Berbentuk seperti jambul—tetapi menyerupai jambul hewan ternak, domba mungkin—jambul melingkar dengan terbelah ditengah. Mungkin serupa, tapi tentu tak’ sama. Karena wajahku tak’ bisa disamakan dengan seekor domba bukan ?

Dan dengan seragam putih-biru itu. Aku lalu mengenal kata demi kata asing, dan aku baru tahu arti dari kata memorabilia itu

Berbunyi…

“Sesuatu yang patut untuk dikenang”.

Jika kawan terhibur dengan tulisanku, mohon di like, juga diberi komentar tulisanku ini. Semoga bukan hanya aku saja yg menjadi pemimpi, kalian juga, dalam artian kita akan memperjuangkan mimpi itu menjadi nyata, bukan begitu kawan ?. :) .
semoga tulisan ini menginspirasimu, kawan, karena itulah tujuanku untuk memberi manfaat bagi sesama dengan caraku :)

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar sahabat adalah inspirasi saya !!!!

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright 2013 Catatan cerita: Mimpi dan Imajinasi Template by Bamz Templates|suport by Wibialwis Blog |Support Googel