Tampilkan postingan dengan label Cerita Sedih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Sedih. Tampilkan semua postingan

Zhang Da dan Ayahnya

Zhang da Seorang anak di China pada 27 Januari 2006 mendapat penghargaan tinggi dari pemerintahnya karena dinyatakan telah melakukan “Perbuatan Luar Biasa”. Diantara 9 orang peraih penghargaan itu, ia merupakan satu-satunya anak kecil yang terpilih dari 1,4 milyar penduduk China.
Yang membuatnya dianggap luar biasa ternyata adalah perhatian dan pengabdian pada ayahnya, senantiasa kerja keras dan pantang menyerah, serta perilaku dan ucapannya yang menimbulkan rasa simpati.
Sejak ia berusia 10 tahun (tahun 2001) anak ini ditinggal pergi oleh ibunya yang sudah tidak tahan lagi hidup bersama suaminya yang sakit keras dan miskin. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan.
Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai.
Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.
Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan Papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.
Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui.
Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan.
Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya.
Hidup seperti ini ia jalani selama 5 tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. Zhang Da merawat Papanya yang sakit. Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya.
Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.
Zhang Da menyuntik sendiri papanya. Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli.
Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan injeksi / suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa mampu, ia nekat untuk menyuntik papanya sendiri. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah terampil dan ahli menyuntik.
Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, pembawa acara (MC) bertanya kepadanya:
“Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu..?
Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah..?
Besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu..!”
Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa.
MC pun berkata lagi kepadanya,
“Sebut saja, mereka bisa membantumu”.
Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar ia pun menjawab,
“Aku mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama kembalilah..!”
Semua yang hadir pun spontan menitikkan air mata karena terharu. Tidak ada yang menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya..?
Mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit..? Mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, pasti semua akan membantunya.
Mungkin apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku mau Mama kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.
Kisah di atas bukan saja mengharukan namun juga menimbulkan kekaguman. Seorang anak berusia 10 tahun dapat menjalankan tanggung jawab yang berat selama 5 tahun. Kesulitan hidup telah menempa anak tersebut menjadi sosok anak yang tangguh dan pantang menyerah.
Zhang Da boleh dibilang langka, karena sangat berbeda dengan anak-anak modern. Saat ini banyak anak yang segala sesuatunya selalu dimudahkan oleh orang tuanya. Karena alasan sayang, orang tua selalu membantu anaknya, meskipun sang anak sudah mampu melakukannya.

Berikan Selagi Ada Kesempatan

Malam ini terasa amat dingin, sunyi dan sepi... Aku memandang ke sekeliling ruangan kamar ayahanda. Ibu, adik-adik, bibi dan pamanku ada di sana dengan tangisan pilu mereka. Ini adalah malam terakhir kami berkumpul bersama ayah, pahlawan kami tercinta. Setelah bertahun-tahun mengidap penyakit jantung dan diabetes, dan berbulan-bulan lamanya dirawat di RS, akhirnya ayah "memilih" pergi untuk selamanya. Aku menggigit bibir, perih menatap tubuhnya yang begitu kurus. Ia tak segagah dulu, seperti ketika ia masih sehat dan memimpin perusahaan serta bisnisnya. Ayahku kini berbeda... Namun, ia seorang ayah yang tetap sama. Yang begitu mencintai isteri dan anak-anaknya.. Yang selalu siap berkorban bagi kami... Ia tetap manusia yang sama. Yang menyayangi setiap orang dengan amat dalam... Yang selalu berusaha membahagiakan orang lain..

Airmata menggenang di pipiku, tak kuasa aku menahan perih dan kesedihan. Sesaat, pikiranku melayang ke masa lalu. Selama bertahun-tahun lalu, kerapkali aku melukai hati sang ayahanda. Kata-katanya yang disampaikan sebagai nasihat, selalu kusalahartikan dan kuanggap sebagai cara seorang ayah otoriter yang ingin mengendalikan puterinya. Berkali-kali kami bertengkar. Hanya beberapa hari saja masa tenang berada di antara kami, setelah itu akan ada hal-hal yang kami ributkan, yang bila kurenungkan kini semuanya didasarkan atas kesalahanku. Ya, akulah yang bersalah! Ayah hanya berusaha menasihati. Karena rasa cintanya yang besar, ia berharap aku dapat berubah dan menjadi pribadi mengagumkan. Namun aku tak memahaminya..                                                                  

Pernah suatu hari kami bertengkar hebat. Lalu aku memutuskan untuk pergi dari rumah dengan diam-diam. Malam hari sebelum tidur, aku menyiapkan segalanya. Pakaian kumasukkan ke dalam beberapa tas. Buku-buku, arsip penting dll. Tak lupa kutorehkan rasa kecewa dan kekesalanku di atas sebuah kertas yang kumasukkan dalam sebuah amplop. Pada amplop itu ku tulis: "Untuk Ayah".

Esoknya, pagi-pagi sekali sebelum keluargaku terbangun, dengan mengendap-endap aku melangkah meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempatku bernaung. Hampir dua minggu lamanya aku pergi, meski akhirnya aku kembali ke rumah setelah kakakku mengirimkan sms yang berisi permohonannya agar aku kembali karena ayah sangat bersedih dan merasa bersalah. Ia khawatir bahwa rasa sedihnya itu akan semakin memperparah penyakit jantung ayah, yang seharusnya tak boleh berbeban berat.

Aku kembali ke rumah dengan sambutan ayah yang begitu baik. Ah, ia memang selalu berusaha meminta maaf padaku dan memperbaiki keadaan, meskipun akulah yang bersalah. Sedangkan aku terlalu sombong untuk memujanya.

Hari-hari berlalu, kurasakan ayah begitu berusaha agar aku tak marah lagi kepadanya. Ia sangat hati-hati dalam berbicara dan bersikap. Namun penyakitnya semakin hari semakin memburuk. Ia semakin sering merasakan sesak, sulit tidur, cepat lelah dll. Sampai akhirnya ayah harus dilarikan ke RS. Selama beberapa bulan ayah dirawat di beberapa RS yang berbeda, namun keadaannya tak jua membaik. Bahkan menurut para dokter, daya pompa jantungnya hanya tinggal 20 %. Operasi jantungpun bisa jadi gagal. Mendengar pernyataan dokter, membuat ayah mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang besar baginya dan bagi kami. Ayah ingin dirawat di rumah saja! Ia memikirkan biaya operasi yang amat besar, padahal belum tentu berhasil. Jangan-jangan malah hanya akan meninggalkan hutang bagi kami, begitu pikirnya. Di samping ayah ingin melewatkan hari-harinya bersama keluarga. Seperti dulu..

Sayangnya kesempatan berkumpul bersama ayah, tak kupergunakan dengan amat baik. Aku malah seringkali menghabiskan waktu untuk bekerja di kantor. Pergi di pagi hari, dan pulang malam hari. Begitu setiap hari. Niatku mungkin tidaklah buruk, aku hanya berusaha mendapatkan uang banyak agar dapat membantu biaya pengobatan ayah. Namun ternyata aku tak bijaksana. Seharusnya aku tahu bahwa yang paling dibutuhkan ayah saat itu adalah waktuku. Waktu untuk bersama dengannya. Waktu untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Waktu untuk menyatakan rasa cinta di hati kami. Waktu yang tinggal sedikit baginya... Oh Tuhan Yesus, andaikan aku mengerti... Hanya dua minggu ayah di rumah. Dua minggu kesempatan yang diberikan Tuhan bagiku untuk memperbaiki segalanya, namun kusia-siakan.

Hari ini, sabtu 11 Maret 2006 pukul 01.10 dini hari, ayah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Pada menit-menit terakhir sebelum ia pergi, aku mendengar dengan jelas tarikan nafasnya yang tertatih-tatih. Pada menit-menit terakhir itu aku menyadari segala kesalahan yang telah kubuat padanya, luka yang sering kugoreskan di hatinya yang mungkin telah memperparah penyakitnya selama ini. Aku mengingat kasih sayangnya dan segala bentuk kebaikannya. Aku merindukan tawanya, amarahnya, nasihatnya...

Di detik terakhir sebelum tarikan panjang nafasnya, tanda hidupnya di dunia telah berakhir, aku mengucapkan dua kata yang selama ini sulit kuucapkan kepadanya yakni: "Ayahku Sayang...". Ya, aku sangat menyayanginya namun tak pernah menyatakan dan mengekspresikan kasih sayang di hatiku. Aku menyesali setiap kesempatan yang pernah ada yang kubiarkan berlalu begitu saja tanpa ungkapan cinta padanya.  Aku menyesal....

Selagi waktu masih ada, berilah dan nyatakanlah cinta dan sayangmu kepada orang-orang yang selama ini telah menjadi bagian dalam hidupmu, dan sungguh berarti bagimu. Karena bila kesempatan itu telah pergi, engkau akan menyesalinya teramat dalam. Lebih menyakitkan dari rasa kehilangan itu sendiri.

Senja dan Abu-Abu

Aku baru saja membaca sebuah kumpulan prosa, sebait kalimat yang entah mengapa membuatku merenung begitu dalam.

    Hidup itu tak pernah benar-benar benderang seperti siang atau
    bahkan hidup itu tak pernah benar-benar gulita seperti malam
    hidup itu ternyata cuma senja
    senja tak punya warna yang jelas
    senja datangnya cuma sesaat

Jika hidup memang hanya sebuah senja, lantas mengapa aku bisa jatuh terpuruk begitu dalam? Namun sesekali bisa mendaki ke puncak tertinggi.
Senja...
Ternyata senja begitu banyak memiliki kisahnya...

Senja

Senja dan Abu-Abu
adalah sebuah berkas warna penuh kebimbangan
keraguan
tak pasti

Senja dan Langit
adalah sebuah jejak atas pengharapan
doa
dan kerinduan

Senja dan Aku
adalah sebuah ruang sunyi
tempat meletakkan semua penat
dan kembali
bermimpi

Hari ini dan senja tadi...
penat itu telah berada di ruangnya
dan aku mulai merangkai mimpi
yang belum sempat tergenapi di penghujung malam kemarin
mimpi tentang sebuah harapan yang entah terwujud atau tidak
mimpi tentang sebuah pesan singkat dari dia yang dulu pernah sangat berarti
pesan singkat di pergantian hari

"Selamat Ulang Tahun Neng..."

Cukup itu saja...
tanpa harus kata cinta
atau janji hadiah...
hanya 4 kata itu, pesan yang cukup singkat bukan?

Senja tadi...
aku mengukir sebuah mimpi yang belum semiat tergenapi malam kemarin
Tapi sungguh...
aku tahu mimpi itu semaya senja dan abu-abu
meskipun indah
tapi takkan nyata adanya...

satu-satunya yang layak dirayakan hari ini adalah
aku telah terjaga dari keterlenaan mimpi dan kini
aku akan berusaha semampu yang aku bisa untuk
mewujudkan yang maya menjadi nyata
mengubah senja menjadi pagi
dan
menjadikan abu-abu menjadi putih...

Hujan Hati

Hujan Hati - Ketika seorang anak menangis, maka ia sedang merasa sakit, sedih ataupun takut. Bagaimana jika seorang dewasa yang menangis? Apakah sama dengan seorang anak yang menangis? Apakah sebagai orang dewasa juga ketika merasa sedih, sakit ataupun takut juga akan menangis?

Orang dewasa justru memiliki banyak alasan untuk menangis. Jauh berbeda dengan seorang anak kecil. Orang dewasa bisa menangis karena bahagia, terpukul, terharu, menghadapi tantangan. Sungguh banyak alasannya, tetapi mengapa seringkali kita berkata "Malu kalau harus menangis!". Sadarkah kita dengan menangis kita dapat mengekspresikan perasaan kita? Dengan menangis kita mengerti apa yang sebenarnya kita rasakan. Seorang anak menangis hanya karena dia merasa tidak nyaman dengan suatu moment yang membuatnya terpuruk (dipukul, dimarah, takut, dll). Itu adalah seorang anak kecil, tetapi orang dewasa punya banyak alasan untuk menangis.

Saat kita harus menangis, maka menangislah, saat kita harus menitikkan airmata untuk seseorang yang kita kasihi, ya menangislah, itu tidak akan membuatmu menjadi orang yang mengalami kerugian besar yang dapat dihitung dengan jutaan bahkan triliunan uang dimuka bumi ini.

KITA TIDAK PERNAH RUGI KETIKA HARUS MENANGIS.

Ada sebuah kasus yang pernah saya alami. Tentang seorang Pria yang tidak pernah mau menangis karena ia malu jika seseorang melihatnya menangis. Ia sungguh mengasihi ayahnya, bahkan hampir dalam 1 bulan ia dapat menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk biaya pengobatan ayahnya. 

Pada hari Jumat dibulan Oktober sang ayah pun dipanggil pulang oleh yang Maha Kuasa. Seorang Pria yang berprinsip bahwa ia tidak boleh menangis ini, begitu terpukul hingga ia sendiri tidak mampu berdiri ketika mendengar berita yang disampaikan oleh pembantu ayahnya via telefon. Seorang pria ini pun langsung memesan 1 tiket pesawat untuk pergi ke rumah ayahnya sesegera mungkin. Hingga kemudian ia pun tiba ditempat tujuannya dan melihat semua keluarganya berkumpul. 

Jasad ayahnya sudah siap untuk dimakamkan dan sudah berada didalam peti jenazah. Pria ini hanya terpaku berdiri disamping jasad ayahnya yang sudah kaku, dalam hatinya ia bergumam kesal "Kenapa ayah harus meninggal? Aku sudah mengerahkan seluruh tenaga medis untuknya, bahkan dokter pun sudah menyanggupi akan membantunya untuk sembuh, kenapa?" Ia marah, kesal dan bahkan hampir membanting peti jenazah ayahnya sendiri yang sungguh ia kasihi. 

Ia berteriak menggemparkan seisi rumah, bahkan semua keluarga yang melihatnya pun ikut serta kaget melihat perilaku pria ini. Setelah akhirnya sang Ibu datang merangkulnya dan memintanya untuk tenang, ia tetap tidak mau tenang, ia tetap kalap dan galau. Sang Ibu berkata lembut ditelinganya "Menangislah nak, kalau itu membuatmu lebih tenang saat ini", pria ini menoleh kesal dan berkata pada ibunya "Apakah dengan menangis ayah akan kembali, Ibu?" sang Ibu pun kembali berkata pada anaknya itu dengan penuh kesabaran "Tidak nak, ayah tidak akan kembali dengan engkau menangis, tapi engkau akan mengerti kenapa ayah harus pergi disaat engkau sudah menghabiskan waktumu dengan menolongnya". 

Pria ini mencoba dengan singkat memahami maksud kata Ibunya dan kemudian ia terdiam tanpa disadarinya air bening itu mengalir dari matanya. Ia pun sesenggukan dan menangis perlahan-lahan ia pun terisak. Ia memeluk erat ibunya menangis sejadinya di pundak ibunya. Perlahan ia pun berkata pada ibunya dengan lirih "Aku tahu semua usahaku sia-sia ibu, tapi aku juga tahu ketika aku menangis aku hanya seperti seseorang yang lari dari sebuah masalah dan aku lemah ketika aku harus menangis". Sang Ibu membalas pelukan erat anak lelakinya yang begitu keras pada prinsipnya itu, tapi kini sang Ibu melihat anak lelakinya itu mengerti apa yang harus ia lakukan disaat ia menghadapi suatu kejadian.

Temanku, ketika kita ingin menangis tetapi kita tidak melakukannya maka itu akan membuat perasaan kita tidak lebih baik. Dimana kita harus menitikkan airmata, pada saat itulah kita akan tahu sesuatu hal yang tidak kita mengerti.

Kabar Dari Angel

Matahari mulai memanas dan keringat mengucur di dahiku. Masih empat lagu yang belum kubawakan , tapi ku tak sanggup lagi tuk berdiri. Akhirnya kupaksakan raga ini tuk menghibur ribuan orang. Dan akhirnya acara ini pun selesai sudah.Sampai di rumah , aku langsung terkulai lemas menunggu saat ku menutup mata . Akhirnya ku tertidur . Kicauan burung membangunkanku di pagi itu . Kurasakan cacing perutku berdemo ingin di beri makanan .

Lalu ku berjalan selangkah demi selangkah menuju meja makan .
Betapa terkejutnya aku melihat meja makan yang penuh dengan makanan . “Siapa yang memasaknya ?” tanyaku dalam hati . Tiba-tiba muncul sosok wanita berrambut panjang berbaju putih muncul di balik pintu dapur . Dan ternyata adalah kekasihku .
Dia adalah Angel , wanita yang sangat kucintai . Penyabar , jujur , perhatian dan setia adalah sifatnya . Banyak lagu yang kuciptakan karena terinspirasi darinya . Dari bidadari yang hinggap dihatiku dan menjelma sebagai kekasih dalam hidupku .

“ Sejak kapan kau disini ? ”, tanyaku
“ Sejak kau masih tidur . ”, jawabnya dengan senyuman manis
“ Mengapa kau tak bangunkanku ? ”, tanyaku
“ Kulihat kau begitu lelah dan menikmati tidurmu . ”, jawabnya

Karena cacing perutku meronta-ronta , ku lahap roti keju yang ada di hadapanku . Angel melirikku dengan senyuman .

“Lapar ya ?”, tanya Angel dengan nada manja .
“Ho’oh”, jawabku dengan menganggukkan kepala .

Sesaat kemudian , aku mendapat telepon dari produser untuk menghadiri meeting dengannya . Padahal di hari itu juga aku berjanji pada Angel untuk menemaninya pergi ke rumah orang tuanya di Bogor . Akhirnya rencana itu pun pupus sudah dan Angel tidak jadi pergi ke Bogor karena aku harus meeting dan menggarap project dengan produser . Aku pun berjanji pada Angel bahwa bulan depan aku akan menemaninya ke Bogor .
 
Setiap malam aku menciptakan lagu untuk mempersiapkan album baruku yang akan dirilis bulan depan . Sehingga waktu luangku habis hanya untuk membuat lagu dan waktu untuk Angel menjadi terbengkelai 

Setiap kali Angel mengajakku bertemu aku selalu mengelak dengan alasan pekerjaan .
Tak terasa sudah tiga minggu aku tidak berjumpa dengan Angel . Rasa rindu tumbuh subur dihatiku . Tetapi saat aku bertemu dengan Angel , sifatnya sedikit agak berubah . Dia tampak pendiam dan lebih pasif . Tidak seperti biasanya yang periang dan murah senyum . Mungkin dia agak marah karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku . Hal itu tak kutanggapi dengan serius .
Sehari sebelum launching album , produser mengadakan meeting dan diakhiri dengan check sound . Hari yang kutunggu akhirnya tiba . Aku berharap launching album ini berjalan seperti yang ku inginkan dan album yang ku garap meledak dipasaran .
 
Di awal acara aku mendapat telepon dari Angel yang menagih janji untuk menemaninya pergi ke Bogor . Akhirnya kuputuskan agar Angel berangkat sendiri dan aku akan menyusulnya besok pagi . Tanpa jawaban , Angel langsung memutus telepon . Hal itu tak kutanggapi dengan serius . Dan acara ini pun berjalan sukses .
 
Tiba-tiba ada kabar yang menyebutkan bahwa Angel telah mengalami kecelakaan lalu lintas . Aku pun langsung bergegas menuju rumah sakit . Tetapi kedatanganku sudah terlambat . Angel terlebih dahulu pergi sebelum aku datang .
Air mataku jatuh terurai saat ku melihat sosok yang kucinta telah terbujur kaku di hadapanku . Wajahnya seolah tersenyum menyambut kedatanganku . Menyambut kedatangan orang yang tak punya mata hati .
 
Kulihat secarik kertas di samping tubuh Angel yang ternyata adalah pesan terakhirnya . Dalam pesan itu Angel menulis tiga kata yang membuatku sangat menyesal . “ Kutunggu Kau Disana “ itulah pesan yang ditulis Angel sebelum ia pergi ke Bogor . Ternyata dia sudah merasakan apa yang akan dia alami .
Mungkin , batu nisan pisahkan dunia kita , namun dirimu akan selalu ada di hidupku . Menemani dalam setiap detak jantung hingga merasuk dalam palung jiwa . Penyesalan yang selalu datang takkan membuatmu kembali . Namun kuyakin kau telah bahagia di singgasana surga .
Maafkan aku Angel .

Cerita Seorang PSK

Beberapa minggu lalu, ane diajak temen ke tempat kos temennya, seorang wanita. Sebenernya ane gak mau, gan, karena sebelumnya ane denger ceritanya dia bahwa temennya dia ini seorang... PSK. Sedih sih, karena temen ane udah punya isteri dan anak, tapi masih selingkuh juga. But, ane bukan mau cerita tentang mereka. Jadi, singkat ane ikut ke tempat kos temen wanitanya itu.

Sesampainya di suatu rumah di daerah Gajah Ma#a, kami masuk dan melewati banyak kamar. Sepertinya itu tempat nongkrong para pekerja seks deh. Karena ane lihat ada beberapa dari mereka yang nongkrong di depan kamar. Serem-serem seneng juga sih... hehehe... Nah terus sampai deh di kamar kos milik temennya temen ane itu. Lalu kami masuk dan membiarkan pintu terbuka. Tapi sesuatu terjadi. Temen ane rupanya udah kongkalikong untuk pergi ke hotel di Taman S#ri, dan ane diminta menunggu di sana, ditemenin satu orang wanita muda yang... cantik banget. Beneran cantik! Namanya Desi. Ane sempet nolak ditinggal sendirian, tapi ya udahlah. Ane jaga diri aje dari serbuan hawa nafsu yang dilempar setan. Akhirnya mereka pergi dan tinggal kami berdua.

Karena suasananya beku, jadi ane coba ajak bicara duluan. Tapi tanpa maksud embel-embel. Lalu, setelah mulai akrab, ane mulai banyak tanya soal dirinya. Awalnya dia menolak, tapi karena ane bujuk, dia akhirnya mau berbagi. Dan ane mulai tanya satu poin dari dirinya.
Ane (A) : Des, keberatan gak kalau gue tanya?
Desy (D): Kenapa? jangan yang susah-susah ya. gue cuma lulusan sma doang. (jiah, dalam hati ane, emangnya ujian nasional )
A : Boleh tau gak, kenapa lo masuk ke dunia yang seperti ini?
D : Panjang say. Gue sebenernya juga gak pernah mau seperti ini. Semua ini karena... suami gue!
(Jeger! Ane tersontak kaget)
A : Ada apa dengan suamimu? Udah punya suami? Anak?
D : Udah. Anak gue satu. Suami gue kimpoi lagi sama cewe selingkuhannya. Masalah ini awalnya adalah saat gue ke Taiwan untuk kerja. (belakangan ane baru tau kalo dia itu masih keturunan Tionghoa Surabaya). Pas pulang, gue dikecewain sama keluarga suami gue. Di rumah suami gue, karena gue tinggal bareng mertua, gue liat ada cewe lain. Terus mertua gue sendiri yang bilang kalo cewe itu... isteri baru suami gue.
(Desy mulai mengalihkan matanya dari gue, gak mau dilihat kalo airmatanya mulai ngumpul)
A : Maaf Des... gue gak bermaksud membuat lo sedih apalagi menangis karena mengingat masalah lo
D : Gpp. Udah biasa koq. Gue gak pernah mau jadi kayak gini. Ini baru 2 minggu, tapi rasanya perih dan pedih di hati gue. Gue harus ngelayani lelaki yang bukan suami gue. Pernah gue mesti ngelayani dua lelaki sekaligus. Karena gue benci banget sama suami gue.
A : Apa...... nyokap dan anak lo tau?
D : (srk!) Nggak. Gue gak mau bikin mereka sedih karena tau gue kayak begini. Gue sayang anak gue, sekalipun, bapaknya gila kayak gitu!
(Gue nyodoring tisu yang jaraknya agak jauh darinya)
D : Mungkin ini minggu terakhir gue ada di sini. Gue mau pulang dan kerja ke Taiwan lagi. Gue dah gak mau lagi kayak gini.
A : Puji Tuhan, Des! Mau gak lo janji sebagai temen, ya.. walaupun kita baru kenal. Janji untuk lo bangkit lagi dari keterpurukan lo? Janji untuk jaga anak lo dengan sekuat tenaga. Dan jangan pernah biarkan lelaki manapun meniduri lo lagi kecuali suami sah lo kelak.
D : Lo kristen ya?
A : Iya, Des. Lo muslim atau sama kayak gue?
D : Gue juga kristen. Tapi yang tersesat! Hahaha...
(dia berusaha tersenyum, tapi gue suka saat dia mulai menampilkan giginya yang kecil-kecil)
A : Nggak lah. Lo cuma salah melangkah dan ambil keputusan yang gak tepat. Balik lagi ya ke Tuhan. Jalan berlari menjauhinya! Dia pasti mengampuni lo Des.
D : Iya. Thanks ya. Udah menguatkan gue. Padahal, gue pikir lo sama kayak lelaki laen yang cuma mau menikmati tubuh gue.
A : Hahahah! Nggak lah! Lo wanita berharga Des! Dan gue respek sama kejujuran lo. thanks juga udah mau berbagi, walau itu pasti berat untuk lo ceritakan.

Desi udah gak pernah nongol lagi. Dan temennya temen ane itu bilang kalau Desi balik ke Surabaya.

Doa ane buat Desi : Kiranya Tuhan memimpinmu kembali ke jalan yang benar.

Segitu pengalaman ane, Gan. Dan ane mo bagi pesen moral buat agan dan sista.
- Hormati pasangan dan pernikahan kalian. Suami atau isteri yang agan atau sista nikahi BUKAN seseorang untuk disakiti atau dikhianati. Tuhan melihat sikap kita kepada pasangan kita dan akan memberkahinya.
- Jangan pernah ambil keputusan yang salah. sekalipun agan atau sista lagi dalam masalah, tetaplah berpikir jernih. Lari ke hal yang negatif malah merugikan dirimu sendiri.
- Belajar mengampuni, sekalipun itu sulit. Mengampuni itu sama seperti kita menulis hutang orang lain di atas kertas, kemudian kita sobek dan bakar, pertanda LUNAS. Jangan disimpan, karena menyakitkan. Jangan dendam dan membenci, karena itu sama seperti kita yang meminum racun mematikan, tapi berharap orang yang kita benci yang mati.
Sekian dari saya, gan. Semoga dapat pencerahan bagi agan.

Di Ujung Pernikahan

Kisah Cinta kali ini benar-benar salah satu Kisah Paling Sedih & Paling Mengharukan. Mudah-mudan kita semua tidak akan pernah mengalami seperti apa yang
ada pada Kisah Cinta Paling Sedih ini. Dan semoga kita semua dapat mengambil pelajaran / hikmah di balik Cerita cinta paling sedih dan paling mengharukan berikut ini.

Sudah menjadi kehendak Allah memberinya cobaan berupa penyakit kronis yang bersarang dan sudah bertahun-tahun ia rasakan. Ini adalah cerita kisah seorang gadis yang bernama Muha. Kisah ini diriwayatkan oleh zaman, diiringi dengan tangisan burung dan ratapan ranting pepohonan.

Muha adalah seorang gadis remaja yang cantik. Sebagaimana yang telah kami katakan, sejak kecil ia sudah mengidap penyakit yang kronis. Sejak usia kanak-kanak ia ingin bergembira, bermain, bercanda dan bersiul seperti burung sebagaimana anak-anak yang seusianya. Bukankah ia juga berhak merasakannya?

Sejak penyakit itu menyerangnya, ia tidak dapat menjalankan kehidupan dengan normal seperti orang lain, walaupun ia tetap berada dalam pengawasan dokter dan bergantung dengan obat.

Muha tumbuh besar seiring dengan penyakit yang dideritanya. Ia menjadi seorang remaja yang cantik dan mempunyai akhlak mulia serta taat beragama. Meski dalam kondisi sakit namun ia tetap berusaha untuk mendapatkan ilmu dan pelajaran dari mata air ilmu yang tak pernah habis. Walau terkadang bahkan sering penyakit kronisnya kambuh yang memaksanya berbaring di tempat tidur selama berhari-hari.

Selang beberapa waktu atas kehendak Allah seorang pemuda tampan datang meminang, walaupun ia sudah mendengar mengenai penyakitnya yang kronis itu. Namun semua itu sedikit pun tidak mengurangi kecantikan, agama dan akhlaknya…kecuali kesehatan, meskipun kesehatan adalah satu hal yang sangat penting. Tetapi mengapa?

Bukankah ia juga berhak untuk menikah dan melahirkan anak-anak yang akan mengisi dan menyemarakkan kehidupannya sebagaimana layaknya wanita lain?

Demikianlah hari berganti hari bulan berganti bulan si pemuda memberikan bantuan materi agar si gadis meneruskan pengobatannya di salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Terlebih lagi dorongan moril yang selalu ia berikan.

Hari berganti dengan cepat, tibalah saatnya persiapan pesta pernikahan dan untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

Beberapa hari sebelum pesta pernikahan, calonnya pergi untuk menanyakan pengerjaan gaun pengantin yang masih berada di tempat si penjahit. Gaun tersebut masih tergantung di depan toko penjahit. Gaun tersebut mengandung makna kecantikan dan kelembutan. Tiada seorang pun yang tahu bagaimana perasaan Muha bila melihat gaun tersebut.

Pastilah hatinya berkepak bagaikan burung yang mengepakkan sayap putihnya mendekap langit dan memeluk ufuk nan luas. Ia pasti sangat bahagia bukan karena gaun itu, tetapi karena beberapa hari lagi ia akan memasuki hari yang terindah di dalam kehidupannya. Ia akan merasa ada ketenangan jiwa, kehidupan mulai tertawa untuknya dan ia melihat adanya kecerahan dalam kehidupan.

Bila gaun yang indah itu dipakai Muha, pasti akan membuat penampilannya laksana putri salju yang cantik jelita. Kecantikannya yang alami menjadikan diri semakin elok, anggun dan menawan.

Walau gaun tersebut terlihat indah, namun masih di perlukan sedikit perbaikan. Oleh karena itu gaun itu masih ditinggal di tempat si penjahit. Sang calon berniat akan mengambilnya besok. Si penjahit meminta keringanan dan berjanji akan menyelesaikannya tiga hari lagi. Tiga hari berlalu begitu cepat dan tibalah saatnya hari pernikahan, hari yang di nanti-nanti. Hari itu Muha bangun lebih cepat dan sebenarnya malam itu ia tidak tidur. Kegembiraan membuat matanya tak terpejam. Yaitu saat malam pengantin bersama seorang pemuda yang terbaik akhlaknya.

Si pemuda menelepon calon pengantinnya, Muha memberitahukan bahwa setengah jam lagi ia akan pergi ke tempat penjahit untuk mengambil gaun tersebut agar ia dapat mencobanya dan lebih meyakinkan bahwa gaun itu pantas untuknya. Pemuda itu pergi ke tempat penjahit dan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi terdorong perasaan bahagia dan gembira akan acara tersebut yang merupakan peristiwa terpenting dan paling berharga bagi dirinya, demikian juga halnya bagi diri Muha.

Karena meluncur dengan kecepatan tinggi, mobil tersebut keluar dari badan jalan dan terbalik berkali-kali. Setelah itu mobil ambulans datang dan melarikannya ke rumah sakit. Namun kehendak Allah berada di atas segalanya, beberapa saat kemudian si pemuda pun meninggal dunia. Sementara telepon si penjahit berdering menanyakan tentang pemuda itu. Si penjahit mengabarkan bahwa sampai sekarang ia belum juga sampai ke rumah padahal sudah sangat terlambat.

Akhirnyai penjahit itu tiba di rumah calon pengantin wanita. Sekali pun begitu, pihak keluarga tidak mempermasalahkan sebab keterlambatannya membawa gaun itu. Mereka malah memintanya agar memberitahu si pemuda bahwa sakit Muha tiba-tiba kambuh dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit. Kali ini sakitnya tidak memberi Muha banyak kesempatan. Tadinya sakit tersebut seakan masih berbelas kasih kepadanya, tidak ingin Muha merasa sakit. Sekarang rasa sakit itu benar-benar membuat derita dan kesengsaraan yang melebihi penderitaan yang ia rasakan sepanjang hidupnya yang pendek.

Beberapa menit kemudian datang berita kematian si pemuda di rumah sakit dan setelah itu datang pula berita meninggalnya sang calon pengantinnya, Muha.

Demikian kesedihan yang menimpa dua remaja, bunga-bunga telah layu dan mati, burung-burung berkicau sedih dan duka terhadap mereka. Malam yang diangan-angankan akan menjadi paling indah dan berkesan itu, berubah menjadi malam kesedihan dan ratapan, malam pupusnya kegembiraan.

Kini gaun pengantin itu masih tergantung di depan toko penjahit. Tiada yang memakai dan selamanya tidak akan ada yang memakainya. Seakan gaun itu bercerita tentang kisah sedih Muha. Setiap yang melihatnya pasti akan bertanya-tanya, siapa pemiliknya.

Kado terakhir dan terindah


 “loe gila ya Win? Gimana bisa loe nyomblangin gue sama mantan loe.” sergahku.
Kado

    “Firan sendiri yang minta,  ya gue kabulin.” Jawab Windi.
    Sahabatku satu itu memang gila. Setelah kemaren aku dibuat bingung oleh sesosok penelfon misterius, dan ternyata dia adalah mantan Windi yang ternyata aku kenal. Dan kagetnya, dia sengaja meminta nomor handphoneku pada Windi. Setelah mengungkapkan identitas sebenarnya, Firan malah lebih sering lagi menghubungiku.
    “Key, kapan bisa jalan sama loe.”

    “kapan-kapan deh.”jawabku
    Sebenarnya aku merasa gak nyaman sama Windi, tapi perhatian Firan membuatku luluh. Hingga suatu saat.

    “key, gue sayang sama loe. Loe mau jadi cewek gue?” ucapan Firan mengagetkanku.

    “Firan..loe mantan sahabat gue, gue gak mungkin jadian sama mantan sahabat gue sendiri. Gue takut dia tersakiti.”
    “udahlah Key, Windi gak papa kok. Dia ikhlasin gue, gue tuh cuma temenan aja sama dia sekarang.”
    Tiba-tiba panggilan telepon pun tertahan,dan tiba-tiba ada suara Windi.
    “udahlah Key,santai aja. Kita udah gak ada apa-apa,lagian gue gak mungkin ngabulin permintaan dia buat minta comblangin sama loe kalau gue masih sayang sama dia.” Ucap Windi.


    “tapi  Win…”
    “udah denger sendiri kan,,Windi aja gak pa-pa.” Firan memotong kalimatku dan Windi pun mematikan teleponnya.
    “jadi gimana?” Tanya Firan lagi.
    “sebenernya sih gue juga sayang sama loe…Cuma..”
    “makasih ya Key,gue seneng banget. Jadi lo mau jadi pacar gue.” Lagi-lagi Firan memotong kalimatku. Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
    “iya Fir..”jawabku kemudian.

    Gak terasa udah seminggu aku jadian sama Firan. Memang indah,karena perhatian Firan mampu melunakkan hatiku. Namun lama kelamaan aku semakin merasa bersalah dengan Windi. Hingga suatu hari Firan terkejut dengan ucapanku.
    “Fir..kayaknya hubungan kita udah gak bisa dilanjutin lagi deh. Aku terus merasa bersalah sama Windi,aku tahu perasaan dia gimana ngeliat kita jalan berdua. Walaupun dia gak bilang, tapi aku tahu Fir..” ucapku.

    “Key,Windi gak kayak gitu. Dia ikut seneng kok ngeliat kita. Lagian gak ada apa-apa juga kan, gak ada yang berubah kan dari sikap Windi sejak kita jadian.”
    “iya Fir..tapi aku tahu perasaan dia sebenarnya. Lebih baik kita temenan aja dulu ya.” Aku tetap nekad pengen putus sama dia. Sesaat dia terdiam.

    “hmm…ya udah deh kalau memang itu mau kamu. Tapi kita tetep temenan kan,gak pa-pa kan kalo aku tetep sayang sama kamu.” Ucap Firan kemudian.
    Aku hanya mengangguk lalu pergi dari hadapan Firan.
    Suatu hari Windi mendekatiku, ternyata dia heran melihat aku dan Firan sudah jarang kelihatan berdua.
    “Key..mana Firan. Gue gak pernah lagi liat dia sama loe jalan.”
    “mmm…gue udah gak sama Firan lagi Win. Gue gak enak sama loe,gimana perasaan loe liat kita jalan, loe kan mantannya dia.” Jawabku jujur.

    “ya ampun Key…gak gitu juga kali. Gue nyantai aja,gue gak ada rasa apa-apa lagi sama dia. Ngapain sih loe mutusin dia,,gue ikut seneng liat dia sama loe jadian. Gue tahu loe baik buat dia.” Jelas Windi. Aku hanya bisa terdiam dan mengangkat bahu.
    “ya gimana lagi,, udah putus juga,udah kejadian.”lanjutku kemudian.
    “gue yakin bentar lagi dia bakal minta loe buat  balikan lagi sama dia. Gue tahu Firan gimana.”

    Sepulang sekolah, tanpa ganti baju lagi aku langsung merebahkan diri di kasur empukku. Saat baru akan memejamkan mata, dering handphone mengejutkanku dan tertera nama Firan di sana.


    “iya Fir..kenapa?”tanyaku
    “kamu lagi ngapain Key? Udah makan belom? Aku ganggu gak?” Tanya Firan bertubi-tubi.
    “gak lagi ngapa-ngapain. Gak kok gak ganggu.” Jawabku seadanya.
    “gimana kabar kamu, baik-baik aja kan?” Tanya Firan lagi
    “baik kok..kamu?”
    “baik juga. Ya udah ya Key,baik-baik ya. Aku cuma pengen denger suara kamu aja kok.” Ucap Firan kemudian dan dia langsung mematikan telepon. Mendengar ucapan terakhirnya, aku terdiam.

    Setelah hampir 1 bulan aku putus dengan Firan, muncul seorang yang ingin jadi pengganti Firan. Namun sama dengan Firan dulu, aku belum kenal lama dengan Gion. Tapi untuk sekedar melupakan Firan bolehlah pikirku. Akhirnya setelah aku pikir-pikir,aku juga menerima Gion. Gak kerasa hubunganku dengan Gion bertahan lama hingga hampir 6 bulan, namun semakin lama aku semakin merasakan bahwa sifat Gion mulai berubah. Dia emosian dan mulai posesif serta temperamental. Aku mulai mencoba untuk lepas dari dia, namun ancaman-ancamannya terus membuatku takut. Hingga hampir satu bulan aku bertahan dalam keadaan penuh tekanan, hingga akhirnya tiba-tiba sosok Firan datang lagi.

    “hai Key, gimana kabar loe. Kok kelihatannya loe sakit yah? Pucat banget wajah loe” ujar Firan saat bertemu di sebuah kafe. Memang sejak bermasalah dengan gion, aku mulai berubah. Karena penuh tekanan, aku sering memikirkan masalah itu sehingga kesehatanku menurun. Aku hanya memendamnya sendiri karena aku takut menceritakannya kepada orangtuaku.

    “hmm..gak pa-pa kok. Loe ngapain disini?” tanyaku mencoba menghindar dari pertanyaan Firan.
    “gak usah bohong Key, gue tahu dari mata loe. Cerita sama gue, gue bakal bantu loe.” Ucap Firan terdengar khawatir.
    Akhirnya setelah diyakinkan oleh Firan, aku pun menceritakan semua yang aku alami dengan Gion hingga tanpa sadar aku meneteskan airmata di hadapan Firan.
    “hmm..maaf ya Fir, gue jadi cengeng kayak gini.”

    “udahlah Key, keluarin aja semua kekesalan loe. Gue akan dengerin loe kok, tenang aja yah. Gue pasti ada buat loe.” Firan merebahkan kepalaku di bahunya. Saat itulah aku merasa tenang dan damai ketika berada di samping Firan.
    “Fir…maafin gue yah dulu gue mutusin loe tiba-tiba. Tanpa alasan yang jelas pula.” Aku tiba-tiba membahas masa-masa yang bagiku itu adalah hal bodoh yang telah kulakukan.

    “ya udahlah Key,,udah terjadi juga. Sekarang juga kalo loe mau, gue pengen ngajak loe balikan lagi.” Ucap Firan yang serta merta mengagetkanku.
    “Fir..loe serius. Loe kan tau gue masih sama Gion.”

    “iya Key, gue tau. Tapi gue juga tau kalo hati loe tuh gak sama Gion. Kita bisa kok backstreet dari dia, gue bakal nyimpan rahasia ini Cuma untuk kita berdua.” Jawab Firan meyakinkanku.

    “loe yakin Firan..gue belum bisa lepas dari dia. Loe yakin semuanya akan baik-baik aja?”
    “gue yakin semuanya akan baik-baik aja. Gue akan tanggungjawab kalo ada apa-apa.”
    “iya Fir…gue mau. Makasih ya Fir, loe janji akan nyimpan rahasia ini baik-baik. Gue juga akan usahain untuk secepatnya lepas dari Gion.” Yakinku.
    “gue janji buat loe.” Ucap Firan sambil mencium keningku.


    Udah 2 minggu aku backstreet sama Firan dari Gion. Aku kadang merasa bersalah sama Firan, gimana bisa aku mengiyakan permintaanya untuk jadi yang kedua. Sementara aku tahu, itu pasti akan menyakitkan. Suatu hari aku mendengar sebuah gosip tentang Firan.

    “Key, mantan loe si Firan tuh kemaren jalan sama Mita. Mereka jadian yah? Bukannya Mita pacarnya Dio.” Tanya kak Vina, sepupuku.

    “emangnya kenapa kak? Kamu  kenal sama Dio n Mita?” jawabku sedikit kaget mendengar pertanyaan itu. Jelas saja, itu menyangkut Firan.
    “kenal lah, Dio kan sepupunya Riko. Makanya kakak Tanya sama kamu.”
    Aku  baru ingat kalau Riko, pacarnya kak Vina sepupuan sama Dio dan rumahnya pun deketan.

    “oh iya kak. Trus kenapa kak? Kakak mau aku nanya sama Firan. Ih gak banget lah kak, nanti dia mikir aku pengen balikan sama dia, sibuk ngurusin dia.” Jawabku.
    “iya ya. Ya udah deh,gak usah diurusin ,biar Dio tahu sendiri aja.” Jawab kak Vina kemudian.

    Padahal  sebenarnya aku juga pasti akan bertanya sama Firan, secara Firan pacarku. Walaupun jadi yang kedua, tapi bagiku Firan tetep nomor satu. Dan mendengar dia jalan sama cewek lain, sontak aku merasa kaget.

    “Fir,loe kemaren jalan sama siapa?” aku mencoba buat tidak langsung menayakan tentang Mita.
    “aku kemaren gak jalan kok Key, aku dirumah aja.” Jawab Firan.
    “beneran?”
    “iya Key, beneran.” Yakin Firan.

    “oh, kayaknya Firan mulai nyoba boong sama gue. Apa maksudnya? Apa dia udah bosen sama hubungan ini. Tapi kenapa harus dengan cara kayak gini? Kalo udah gak kuat, kenapa gak bilang aja? Lagian kemaren gue juga gak minta, kan dia sendiri yang minta dijadiin yang kedua, lagian walaupun yang kedua, dia gak harus bebas jalan sama cewek lain juga dong.”  Batinku yang merasa kesal telah dibohongi Firan.

    “Key..kenapa diem?” Tanya Firan.
    “oh nggak, cuma pengen tahu aja. Oh iya Fir, gue cuma mau bilang. Kalo loe udah gak tahan dengan hubungan kita ini, kita cukup disini aja. Gue juga gak mau loe terus-terusan berada di posisi kayak gini. Loe bisa bebas juga kan mau jalan sama cewek lain, mau nyari cewek lain tanpa ada yang ngalangin.” Ucapku seketika.

    “loh kok? Gue seneng kok di posisi kayak gini, gue nikmatin.”
    “udahlah Fir, jangan boong. Kemaren loe jalan sama Mita kan. Kalo loe udah jenuh sama hubungan ini, loe bisa bilang sama gue, bukan dengan cara kayak gini. Gue tahu loe yang kedua buat gue, tapi bukan berarti loe bisa bebas jalan sama cewek lain.” Sergahku.

    “oh..jadi karena itu loe marah sama gue? Iya gue akuin kemaren gue jalan sama Mita, tapi…”
    “udahlah gak ada tapi-tapian. Sekarang gue bebasin loe buat jalan sama cewek lain. Udah cukup loe jadi yang kedua buat gue. Selamat bersenang-senang ya. Maafin gue udah jahat sama loe.” Aku memotong kalimat Firan dan langsung mematikan panggilan. Beberapa kali Firan mencoba menelpon balik, tapi tidak kuhiraukan.
  

    2 hari lagi ultahku yang ke-17 dan aku berniat untuk merayakannya. Namun hingga ultahku kali ini, sudah sekitar 1 bulan masalahku dengan Gion tak kunjung usai. Firan yang selalu membuatku tenang, juga telah hilang.
    Saat malam pesta ultahku, yang datang pertama kali adalah Gion dan dia langsung terus berada di sampingku dan ikut menyalami teman-temanku yang datang.
    “ih..ngapain sih nih Gion disini terus.Ya Allah..aku mohon jauhkanlah Gion dari kehidupanku untuk selama-lamanya.  Gue gak mau kenal dia lagi.” Gumamku dalam hati.


    “kak, risih nih sama Gion. Maunya sampingku melulu.oh iya, kak Riko mana?” Aku curhat sama kak Vina,satu-satunya orang yang tahu masalahku dengan Gion.
    “kamu pindah aja, jangan ditanggepin,anggap aja dia gak ada kalau dia terus deketin kamu. Kak Riko bentar lagi dateng kok, dia lagi nunggu mobilnya yang dipake Dio buat jalansama Mita.”


    “loh masih sama Mita? Kan kemaren kakak bilang Mita jalan sama Firan.”
    “iya sih, ternyata Firan sama Mita itu cuma temen deket. Mereka udah lama temenan dan memang sering jalan berdua,kemaren juga Mita minta Firan buat nemenin dia ke took buku soalnya Dio lagi ada kegiatan. Dio juga kenal kok sama Firan.” Jelas kak Vina. Aku kaget dan terdiam mendengarnya, kemaren aku udah curiga sama Firan bahkan langsung mutusin dia. Dia gak sempat ngejelasin soalnya aku udah motong kalimatnya duluan. Aku pun merasa menyesal karena selama ini Firanlah yang selalu nenangin aku.


    Satu persatu teman-temanku datang, dan pada saat acara tiup lilin akan dmulai. Teman-temanku yang berada di depan terdengar riuh, sempat terdengar teman perempuanku menjerit. Kamipun mencoba melihat apa yang terjadi. Hampir semua teman-temanku ikut berlarian ke depan rumahku. Saat aku berlari, aku melihat sebuah kendaraan terbaring di depan pagar rumahku dan aku tercengang melihatnya. Itu adalah motor Firan.
    “Firan..itu motor Firan. Aku yakin itu. Tapi kenapa Firan disini? Dari tadi aku juga gak ngeliat Firan, dan aku juga gak pernah ngasih tahu dia kalo aku ngerayain pesta.” Au mencoba menerka-nerka.


    “Key..Firan.” kak Vina langsung menghampiriku dan menarik tanganku kearah temen-temenku yang sedang mengerumuni sesuatu. Saat melihat apa yang ada di tengah-tengah mereka, seseorang yang terbujur kaku dengan kepala bersimbah darah. Aku terduduk di hadapannya dan sontak aku menjerit sambil meneteskan airmata.


    “Firan………bangun Firan. Kenapa bisa kayak gini. Bangun Firan..” aku menjerit memanggil nama Firan. Namun Firan tetap terbaring lemah, beberapa detik kemudian mata Firan perlahan terbuka, dia tersenyum dan dengan bersusah payah dia mencoba meraih pipiku. Aku meraih tangannya dan melekatkannya ke pipiku. Setelah itu dia kembali memejamkan mata dan perlahan tangannya terlepas dari genggamanku.
    “Firan……………..”aku menangis dan langsung memeluk firan. Tak kuhiraukan gaun pestaku telah dipenuhi oleh darah. Gion mendekatiku dan menarikku. Tak kuhiraukan panggilannya, aku malah menepis tangannya dari pundakku. Kemudian kak Vina mendekatiku.
    “Key, tadi kakak nemuin ini di dekat tubuh Firan.” Kak Vina memberikan sebuah kotak mungil yang lucu.
    “dengan meneteskan airmata, perlahan aku membuka kado tersebut. Isinya adalah sebuah kalung bertuliskan my angel dan sebuah kartu kecil.” Aku membaca tulisan di kartu tersebut.
    “Keyla my angel,happy birthday ya. walaupun kisah kita begitu singkat,tapi semuanya begitu indah. Makasih ya udah jadi my angel. Aku akan selalu sayang kamu.”
   
Setelah membaca tulisan itu, aku kembali menangis histeris memanggil nama Firan. Ternyata Firan ingin memberikan kado untukku. Aku menyesal karena beberapa hari yang lalu, aku marah-marah sama Firan dan bahkan sampai mutusin dia karena kecurigaanku yang ternyata salah. Ternyata Firan masih ingat dengan ultahku, dan dia memberikan sesuatu untukku, namun sekarang penyesalanku terlambat. Firan telah pergi dan aku hanya bisa mengungkapkan penyesalan itu pada pusaranya nanti. Tak lama ambulan datang membawa jasad Firan. Gion pun kembali mendekatiku dan mencoba menenangkanku.
   
“udahlah Key, Firan udah gak ada, gak usah ditangisin.” Ucap Gion.
    “diem kamu. Ini semua gara-gara kamu. Aku tuh gak pernah ngarepin kamu ada di pestaku malem ini, udah cukup kamu bikin hidupku tersiksa, penuh tekanan. Bukan hanya sakit hati, tapi sakit jiwa raga. Kamu tuh manusia gak punya hati, aku nyesel kenal sama kamu. Pergi kamu dari hidup aku, sebelum aku berbuat nekad. Silahkan kamu bertobat sebelum kamu nyusul Firan dan kamu bakal tersiksa lebih dari rasa sakit aku yang udah kamu bikin tersiksa. Gue benci loe, jangan pernah anggap gue ada. Gue gak pernah dan gak akan pernah mau lagi denger nama loe dan liat wajah loe dhadapan gue.” Aku memaki-maki Gion di hadapan teman-temanku. Malam itu semua kekesalan yang ku pendam selama ini seketika ku keluarkan.
    “Keyla…” Gion mencoba memegang tanganku dan aku langsung menepisnya.
    “pergi…..gue gak butuh loe. Loe cuma bikin hidup gue hancur.” Aku menunduk, enggan menatap wajah Gion.  Gion terdiam di hadapanku.
    “gue bilang pergi, jangan harepin gue lagi buat kenal sama orang gk punya hati kayak loe. Dosa terbesar gue kenal sama loe. Loe tau itu?” makiku sambil terus menunduk. Aku pergi meninggalkan Gion dan teman-temanku. Gion kembali menarik tanganku.

    “jangan coba sentuh gue.” Aku menepis tangan Gion dan berlalu pergi tanpa menghiraukan tatapan heran teman-temanku yang penuh tanda tanya karena makian-makian yang kulontarkan tadi. Aku menarik tangan kak Vina dan memintanya untuk membawaku ke rumah sakit dimana Firan dibawa. Dari kejauhan tak lama kulihat Gion juga berlalu pergi.

    “Firan…maafin gue. Maafin sikap gue ke loe, gue udah berpikiran buruk sama loe. Gue nyesel sempet marah-marah sama loe dan bahkan mutusin loe. Disaat gue ingin memperbaikinya, loe udah pergi Fir. Walaupun loe pernah jadi yang kedua buat gue, tapi bagi gue loe tetep yang pertama dan terbaik untuk gue. Gue akan selalu jadi angel buat loe Fir. Semoga loe tenang yah disana, do ague akan selalu ada buat loe.  Simpan cinta gue di tidur panjang loe ya. I love you.” Bisikku kemudian di telinga Firan saat aku telah berada di hadapan jasad Firan. Dihari ultahku ini, Firan memang telah pergi. Namun cintanya akan selalu hidup dihati aku, dan kado itu…adalah kado terakhir dan terindah dari Firan.

Selamat Tinggal Teman





 "I Wanna heal I wanna feel
what I thought was never real
I wanna let go of the paint i've felt so long
Erase all the paint till it's gone
I wanna heal I wanna feel
like i'm close something real
I wanna find something
i've wanted all long
somewhere I belong.." 

Kubenamkan kepalaku dalam-dalam ke kasur, ku tutupi kupingku dengan bantal. Suara seraknya mengikuti nyanyian grup musik Linkin Park. Berisik! Ok deh, tiap hari aku harus dengerin lagu ini tapi apakah harus sepagi ini? Pukul 06.00, aku harus cepat bersih-bersih kamar biar bisa cepat pergi dari sini. Jadi kebiasaanku berangkat pagi pulang malam, bukan apa-apa tapi gara-gara musik itu aku jadi gak betah lama-lama dikos-an. Pernah seharian di kos-an karena gak enak badan, cuma saat dia pergi saja, musik itu pun berhenti. Bahkan, dia akan memutar lagu itu lebih keras jika ada musik lain yang disetel, mungkin dia gak mau disaingi.

Namanya Dimas Ayu Andra, kuliah di jurusan Teknik Sipil, satu angkatan denganku tapi beda fakultas. Dia satu minggu lebih dulu tinggal di kos-an ini dariku. Anak kos-an lebih senang memangilnya Mas, bukan tanpa alasan, salain lebih mudah mengucap Mas daripada dimas, penampilanya juga mendukung. Rambut cepak kaya tentara, pakean kesukaanya jeans hitam yang sobek-sobek dibagian lututnya dipandu kaos berlengan pendek. Wajahnya seringkali tanpa polesan apapun, alami, namun justru wajahnya yang ganteng tetap tak bisa disembunyikan.
 

"Gimana, udah cakep kan?" tanyanya suatu pagi padaku. aku yang sedang menyapu teras kamar, menghentikan sejenak pekerjaanku dan menoleh ke arahnya. karena masih canggung, maka aku hanya memberikan senyum sebagai balasan pertanyaanya. Namun, karena seringnya dia menyapaku, aku pun menjadi lebih respon dan lama-lama menjadi terbiasa bahkan boleh dibilang akrab.
Setelah tiga bulan mengenalnya giliranku yang menggodanya lebih dulu.
"Mas, namnya siapa, Mas?
Asalnya dari mana, Mas?
Tanyaku meniru iklan di televisi. kalau sudah begitu, dia akan berkaca pinggang lalu berkata,
"Emang gua sukro..."
"Lha itu kepalanya, sukro berduri," ledekku.
"Tapi mau nambah ka...n?" Dia tersenyum
Kami pun tertawa geli bersamaan.
Begitulah Mas, orangnya cuek dan tahan sindiran. Kini aku tak memperdulikan lagi penampilanya, meski untuk beberapa kebiasaannya aku masih kurang senang, seperti memutar lagu Linkin Park keras-keras. atau sewaktu-waktu aku pernah menggomentarinya.
"Kok sering ngemil badanya enggak gemuk sih?"
"Ya... dibarengi olah raga dong," sanggahnya.
"Emang olahragamu apa?"
"Basket, renang, tenis, pokoknya banyak dech."
"Tenis?" Tanyaku heran.
"Kenapa? Gak boleh?"
"Ya...nggak, gak banyak orang yang suka.
"Justru itu, jangan cari yang pasaran."
"Pantes kamu pasang poster itu." Aku menunjuk salah satu poster yang menempel di dinding Dimas.
"Oh, itu? kebetulan dapetnya susah tuh dibanding poster artis, waktu itu ada temen yang ngasih, tepatnya sih nodong karena gua memohon sama dia, dia juga sempet heran kayak kamu, kok mau posternya si Rafael Nadal, tapi gua cuek aja, gua suka backhand satu tangannya. Itu senjata ampuh unggulanya."
"Mau kayak dia?"
"Motivator aja, cowok harus berkarya di bidang apa aja yang dia senangi. Gak melulu kerja di pemerintahan atau perusahaan, dari hobi juga bisa. Kamu juga kalo serius di nulis bisa kayak Veronica Guerin," saranya, karena dia tau kalo aku lagi magang di koran kampus.
"Tahu dari mana?"
"Pernah nonton filmnya"
"Tapi kan sad ending, she was killed by the drugers."
"Tiap orang juga bakal mati, Boy." Nasehatnya sambil menjitak kepalaku.
"Tapi ada orang yang umurnya panjang. Bukan karena dia berumur sampai seratus tahun, tapi dia mati meninggalkan nama besarnya dan orang akan selalu mengenang jasa atau kebaikannya. Itu baru panjang umur."
"How tacful," ledekku.
"Iya dunk, siapa dulu, Dimas Ayu Andra."
"Mana ada mas-mas ayu, jangan-jangan ban..." Tak kuselesaikan kalimatku sambil ku lirikkan mataku kesamping.
"Banci maksud Lo?" Dia diam sejenak lalu, "Gua gak suka sama Lo."
Melihat raut mukanya aku jadi takut salah ucap, apa dia tersinggung dengan gurauanku?
Tapi dia melanjutkan.
"Karena Lo cowok, dan gua suka perempuan, he...he...he..."
Dasar! Aku lempar bantal yang ada disampingku ke mukanya. Ngerjain aja.
"satu kosong."
Aku cukup senang ngobrol dengan Mas, biasanya kan kalau sesama cowok ujung-ujungnya ngegosipin perempuan. Tapi beda dengan Mas, misalnya dia lebih senang tentang pandangan miring masyarakat pada kaum dengan julukan fungky atau mengkritik kebijakan pemda tentang tata kota yang semraut. Dan obrolan itu pun terasa ringan dengan diselingi lontaran-lontaran leluconnya yang membuatku sakit perut menahan tawa. Selain itu juga kebiasanya memutar lagu keras-keras jadi agak berkurang, meski masih diputar tapi dengan volum rendah.
Kini, 'obrolan kamar' yang biasa kami lakukan setelah makan nasi bungkus bareng, hanya bisa kami lakukan pada malam hari setelah masing-masing selesai dari aktivitasnya di siang hari. Aku yang masih magang di koran kampus, harus nyetor berita sebanyak-banyaknya, praktis, di luar jam kuliah aku pun hunting berita. Sedangkan Mas, selain aktiv disenat Universitas, dia juga menjadi volunteer di salah satu rumah singgah. Karena pengalamanya di sana ditambah prestasi dia di fakultas yang cukup menonjol, pernah suatu kali dia kutawari jadi profil di koran tempatku magang. Tapi ia menolak.
"Cukup orang yang sudah tau aja," jawabnya merendah.
"Tapi kan bisa jadi motivasi orang lain, bukan buat sombong-sombongan."
"Thanks, tapi masih banyak yang layak jadi profil ketimbang gua. Kan repot nanti kalo gua terkenal. Ntar kalo ada yang nawarin jadi pejabat partai gimana? Gua jadi gak bebas makan duren pingir jalan lagi dunk, he...he...he..."
"Ge'er, siapa juga yang mau nawarin kamu jadi pejabat. Lagian gak semua pejabat gitu kok."
"Gak semua sih tapi sebagian besar. Mereka mungkin lebih suka duren import yang dijual disupermarket ketimbang beli duren lokal pinggiran jalana. Padahal rasanya lebih u... enak duren kita, apalgi makanya lesehan sambil dibuai angin malam. Ah, sudah! Dari pada cuman ngomongin aja mending kita beli yuk!" Tawarnya sambil menggapmit tanganku.
"Asal traktir ya," rayuku.
***
Jam di mejaku menunjukan pukul 07.30. Dari seberang kamar terdengar sayup-sayup lantunan musik, kali ini volumnya sedang, tapi aku masih bisa menangkap liriknya.
"Kisah hidup anak muda/ Anak muda zaman sekarang/ Diincar banyak godaan/ Sana sini belingsatan/ Tawarkan bermacam kenikmata..n/ Kenikmatan buaian setan..."
Benarkah itu dari kamar mas? Ku buka pintu kamar. Benar, itu dari kamarnya. Mulanya ku kira itu hanya siaran radio, tapi kok tanpa iklan? Iseng, ku ketuk pintu kamarnya Tak lama pintu terbuka.
"Hi Boy, what's up?"
"Pagi Dona," candaku.
"Gak biasanya kamu nyetel lagu itu, dah insaf?" Sambil melewatinya yang masih berdiri di pintu aku mengambil kaset JV (Justin Voice) di atas tape.
"Kok heran?"
"Of Course, something must have a reason."
"Begini ceritanya. Dua hari yang lalu gua ke toko kaset, karena yang mau gua beli gak ada, gua iseng liat-liat yang laen. Pas gua liat di cover belakang kaset ini ada tulisan fungky tapi syar'i, gua penasaran makanya gua beli. Tapi lumayan enak, liriknya bermakna. Mau pinjem?".
"Ngeledek, di kamar ku kan gak ada tape, mau nyetel pake apa?"
"Sorry, lupa. Kalo gitu ntar gua kerasin biar u dapet hibah dari gua, itung-itung cari pahala."
"Tapi jangan kaya orang hajatan ya," pintaku ngeloyor masuk kamar kembali sambil berkali-kali aku bergumam, "Tumben."
 
 
Aku baru saja menaruh buku-buku kuliahku di loker. Ya, aku sudah punya loker karena sudah setahun lebih aku menjadi reporter. Dari arah ruang komputer, kak Didi memanggil-mangil keras, "Boy...Boy...!"
"Ada apa Pred?" sapaku pada pemimpin redaksi.
"Kamu liat Aji?"
"Beluh tuh, Masih difakultas kali, ada apa kak?"
"Ada demontrasi menuntut transparasi APBD di DPRD, Icha udah di sana ngeliput tapi gak ada fotografer."
Karena aku juga bisa menggunakan kamera, aku pun menawarkan diri.
"Kalo pred ngijinin, biar aku yang kesana."
"Kamu yakin mau kesana? Kata Icha disana lagi chaos."
"Sure! Gak pake ragu." Sambil menggacungkan dua telunjuk, aku mencoba meyakinkannya.
"Ok. Aku hubungi Icha dan ngasih tahu kamu yang berangkat. Hati-hati ya Boy."
Dalam hitungan detik, SLR F-60 sudah berpindah tempat ke dalam tas ku. Dengan mengendari sepeda motor, aku segera menuju lokasi. Aku harus cepat. Ah, lampu merah ini terasa lam kalau sedang buru-buru. Sepuluh, sebelas, dua belas, yes! Lampu hijau menyala. Kok pick up di depanku tak segera maju. Aku bunyikan klakson," Tid.., tid..tid..." Mobil itu masih diam. Dari jendela kiri mobil tampak tangan melambai-lambai menyuruh aku maju duluan. Aku melewati mobil yang mogok itu.
"Wah, waktuku terus berkurang nih," gumamku.
 

Tiba-tiba dari sisi kiri jalan aku dikejutkan sepeda motor yang sama-sama melaju cepat, kami nggerem hampir bersamaan, si pengendara motor itu mengumpatku. Lho, kenapa harus marah, dia juga ngebut, pikirku. Untung saja kejadian itu tak berlanjut, aku segera melanjutkan perjalanan. Ah, mudah-mudahan dua kejadian jadi bukan bertanda apa-apa.
 

Lima ratus meter dari lokasi demonstrasi, ku parkir motor, ku siapkan kamera yang tadi ku bawa. Keadaan benar kacau. Entah bagaimana awalnya, entah siapa yang memulai, mungkin Icha tahu. Yang jelas dihadapanku nampak barisan demonstran paling depan mencoba membobol brigade petugas keamanan. Sedangkan barisan demonstran belakang melempar batu atau apa saja ke arah petugas. Sesekali beberapa orang dari demonstran depan berteriak-teriak ke kawan mereka yang di belakang. "Jangan melempar! Jangan melempar!
 

Mungkin mereka tidak setuju tindakan kawan mereka itu. Tapi ternyata keadaan semakin kacau, petugas yang mungkin sudah kesal dengan tingkah demonstran  itu menembakkan gas air mata berkali-kali. Aku mencoba mengambil gambar sedekat mungkin. Teringat ucapan fotografer perang, James Natchway, " If your photo is not good, then you are not so close." Sambil menghindari gas air mata aku terus mengambil gambar, untunglah aku selalu membawa sapu tangan dan hari ini benar-benar aku butuhkan.
Seketika sudut mataku menangkap tiga orang mahasiswa dan satu orang mahasiswi sedang mengerumuni sesuatu di bawah pohon tak jauh dari tempatku berdiri, "Angkat! Ayo angkat cepet!" Perintah salah satu dari mereka.
Apakah ada yang cidera? pikirku.
Dengan penasaran aku mendekati mereka. "Siapa mbak?" Tanyaku sambil mencoba melihat langsung. Alangkah kagetnya saat kutahu siapa yang hendak mereka angkat tersebut. Aku pun berteriak, "Ya Tuhan, Mas, Dimas!"
"Mbak mengenalnya?"
"Ya, dia..dia teman ku, cepat, cepat kak tolong dibawa ke Rumah Sakit!"
"Kayaknya dia kena popor senjata mbak," kata salah satu mahasiswa itu. Aku jadi panik Apalagi saat kulihat badanya mulai melemah, tanganya mencoba menahan darah yang keluar dari pelipis matanya, namun jari-jarinya tak mampu menahan, darah itu terus mengalir membasahi bajunya, begitu pula darah dari luka kepala dari bagian belakang kepalanya. Tapi aku tak melihat setetes air matapun darinya, justru aku yang berkali-kali menghapus air mataku. Bibirnya bergerak-gerak, seperti dia ingin mengatakan sesuatu kepadaku tapi tak ada kata yang keluar dari mulutya.
 

"Ke Rumah Sakit ya Mbak, saya bawa motor, segara menyusul" pintaku.
Para demonstran tinggal sekitar 30an yang masih ada di halaman gedung DPRD, mereka nampak mulai meninggalkan tempat itu, sementara petugas masih berjaga-jaga. Karena aku tak melihat posisi Icha, maka ku hubungi dia lewat ponsel.
"Cha, kamu di mana?"
"Aku lagi di dalam gedung, mo konfirmasi. Lo?"
"Aku di halaman gedung, aku dah dapat beberapa gambar. Oh ya maaf aku gak bisa nemenin kamu, temenku ada yang cidera, dia ikut demo, aku mau ke rumah sakit sekarang."
"Oh, gak pa-pa, hati-hati ya."
"Thanks."
Kerongkonganku tecekat, ah, dari pada di sana aku ke hausan, mending beli minum dulu, itu dia warung!
"Air mineral botol, satu bu."
"Adek dari situ?" Tanyanya menunjuk lokosai demontrasi. Aku mengangguk.
"Ada yang luka?"
Sambil mencari-cari dompet di tas, "Eh, iya."
"Untung kamu gak kenapa-napa, coba kalo luka apalagi sampai mmm... mati, kan yang repot orang tuamu."
 

Seorang bapak yang dari tadi duduk di warung itu sambil menghisap rokoknya ikut berkomentar.
"Iya, belum tentu juga negara jadi berubah karena demo. Udah ngorbanin nyawa tetap gak didengar, ya kan Mbok?" Tanyanya minta dukungan si pemilik warung. Ibu itu hanya mengganguk sambil memberikan uang kembalian uangku. Ya, aku tak heran orang berpandangan seperti bapak itu mungkin jauh lebih banyak dari orang yang mencoba optimis untuk merubah keadaan negara ini semampu mereka. Meski memang benar, resikoknya tak selalu didengar, aku tak mau memperpanjang lagi. Mas aku segera ke sana.
 


Mataku mencari sosok empat orang yang membawa Mas ke rumah sakit. Oh itu mereka! Dengan berlari aku hampiri mereka.
"Gimana kak?"
"Kamu temanya kan? Dia sekarang lagi di tangani dokter di dalam. Kita diminta nunggu. Oh ya, administrasinya."
"Oh, biar saya yang urus, tolong tungguin dulu ya kak." Aku berlalu meninggalkan mereka menuju loket administrasi.
 

Beberapa jam kemudian setelah lama mondar mandir di depan ruangan Mas diperiksa, aku dipersilahkan masuk oleh suster. Dokter hanya mengatakan, "Kamu hanya boleh melihatnya, kondisinya masih kritis."
Lima jam berlalu, aku hanya keluar untuk makan dan shalat saja. Beberapa teman Mas bergantian menengok, dan kini mereka sudah pulang. Ketika aku mulai tertidur di kursi yang kududuki, terdengar suara lirih Mas. "Kek... Kakek..." Untuk memastikan aku pun menghampirinya. Benar, dia memanggil kakeknya. Kok kakek pikirku, ya memamng Mas selalu membanggakan kakeknya dalam setiap sela obrolan kami, tapi dalam kondisi seperti ini biasanya kan seorang anak akan mengumamkan nama ibu atau bapaknya.
 

Aku menunggu, perlahan mata mas terbuka, namun bibir Mas belum bisa berucap apa-apa. Aku segara memanggil suster. Tak lama suster itu datang bersama seorang dokter. Setelah melakukan beberapa pengecekan, dokter itu hanya melepas slang oksigen dari mulut Mas.
"Jangan di ajak ngobrol lama ya," pesanya padaku.
"orang tuanya sudah datang?" Tanyanya lagi. "Belum" jawabku singkat.
Bodohnya, aku teman bukan sih, masa keluarganya Mas saja aku tak tahu bagaimana menghubunginya, Mas juga orangnya tak terlalu terbuka, apalagi soal keluarganya. Sepertinya keluarganya hanya kakeknya saja.
"Boy..." Suara itu membuyarkan lamunanku.
"Ah Mas, kamu sudah sadar."
"Boy, tolong kabari kakekku. Nomornya ada di ponselku, Gp."Ucapnya terbata-bata.
"GP?" Tanyaku.
"Grand Pa."
"Oh... " Untungnya ponsel Mas ada di tasnya, sehingga aman saat kejadian itu.
021-8xxx...Tu...t T...t. Nada tersambung. Suara seorang wanita yang sudah lanjut usia menjawab.
"Ya...di sini kediaman Pak Jaya, ini dengan siapa?" nadanya terkesan formal tapi ramah.
"ini temannya Dimas, bisa bicara dengan Pak Jaya?"
"Oh dari temanya den Dimas, tunggu sebentar saya panggilkan."
Cukup lama aku menunggu, ku harap pulsa Mas masih cukup untuk menelpon.
"Ya, saya Jaya, ini siapa?" Suara bariton disana terdengar berwibawa.
"Saya temanya Mas, eh maksud saya Dimas." Segera kubenarkan bahasa ku, Mas kan panggilan di sini saja.
 

"Ada apa dengan Dimas, kenapa bukan dia yang menelpon, apa dia baik-baik saja?" suara itu menjadi cemas. Aku jadi binggung harus menjawab petanyaan yang mana dulu, ah langsung pada permasalahan saja, pikirku.
 

"Saya diminta Dimas untuk menghubungi kakek, Dimas sekarang sedang di rawat, tapi dia sudah baikan." Percakapan selanjutnya secara singkat aku menceritakan penyebabnya, aku juga beri tahu lokasi rumah sakit lalu pria itu memberi tahu ia akan segera datang. Klik! Ponsel ku tutup.
"Kakek akan segera ke sini," kuberi tahu Mas tanpa ia tanya lebih dahulu karena dari tatapan matanya ia aku tahu ia akan menanyakan itu.
 

"Kalau kakek datang, tolong berikan buku tabungan gua sama dia, ada di lemari pakaian gua di kos-an, tolong ya Boy," pintanya. Aku tak lebih jauh menanyakannya.
Setelah mendapat izin ibu kost, aku memasuki kamar Mas, segera ku cari buku tabungan itu, untungnya tak sulit. Tapi ada dua buku tabungan. Ketika ku lihat nominalnya keduanya, dibuku yang satu nominal tak terlalu besar, tapi dibuku lainya, astaga! Besar sekali, 30 dengan enam nol dibelakangnya. "Gila kau Mas, punya uang sebanyak ini."
 

Aku kembali ke rumah sakit setibanya di sana aku serahkan buku itu. Mas meneliti buku itu sejenak, lalu berkata, "Berikan keduanya ke kakek gua, supaya dia memberikan yang ini, ia menunjukan buku yang nominalnya besar ke bapak.
 

"Kenapa bukan kamu yang langsung memberikanya saat ia tiba nanti?"
"Gua percayakan sama Lo." Itu saja jawabnya.
Dengan perasaan bimbang, aku menerima juga.
"Kalau Lo mau tau alasanya, Lo boleh baca buku gua yang covernya cokelat," ucap Mas seakan tahu kebimbanganku.
 

Mungkin Mas masih lelah, ia tertidur lagi. Aku pun mengalihkan mataku keluar jendela. Di seberang ruangan ini bisa ku lihat aktivitas dari kamar lainnya. Tiba-tiba aku di kejutkan oleh sebuah suara yang ku dengar beberapa waktu yang lalu.
 

"Maaf, saya Jaya bagaimana keadaan Dimas?" Rupanya kakeknya Mas, aku hanya mengulang apa yang ku katakan ditelpon. Pria tua itu lalu mendekati Mas. Entah seperti di beri tahu, saat pria itu memegang tangan Mas,  Mas pun terbangun dan hendak memeluk kakeknya meski dengan posisi tertidur. Mereka berpelukan seakan dua orang yang terpisahkan begitu lama. Namun, tiba-tiba tangan Mas terlepas dan tidak sadarkan diri, entah terharu atau apa aku tak tahu. Aku dan kakek nya Mas sama paniknya. Aku lalu keluar ruangan memangil dokter.
 

Cukup lama mereka diluar, kami tak bisa melihat karena kaca ruangan itu tertutup korden. Dokter lalu keluar, layaknya adegan sinetron, jawaban dokter itu membuat kami lemas. Sementara kakek Mas segera menerobos ke ruangan dan memeluk tubuh tubuh Mas yang tak berdaya, aku cuman mematung dengan air mata yang tak terbendung lagi. Selamat jalan kawan, kamu pahlawan anak jalanan dan pergi menegakkan kebaikan.
 
Ku buka lembaran demi lembaran buku bersampul cokelat itu. Isinya tak seperti diary umumnya, namun punya kata yang banyak makna di situ. Dan aku merasa punya harta lain karena sebuah kepercaayaan seorang sahabat yang menghantarkan ku pada sebuah rahasia yang kini menjadi milikku. Kisah seorang anak yang tak mau di hidupi dari kekayaan hasil korupsi ayahnya.
 

"Gua pernah bilang ke Bapak kalau gua udah dewasa dan tahu mana yang baik dan mana yang benar, dan yang di lakukan Bapak salah. Dia malah tertawa, omongan gua gak digubrisnya, di matanya gua masih his little boy. Mungkinkah gua masih hidup saat bapak udah dewasa? (sadar bahwa apa yang dia lakukan itu salah)." Di lembaran lain menulis, "Kakek tak sekedar orang tua bapak, dia pembimbing gua. Dengan filosofi yang di ajarkannya gua gak tergiur uang kiriman Bapak, uang panas...panas..."
"Dimas...!!!" teriakku, air mata tak terbendung.
 




 
Posting Lama ►
 

Copyright 2013 Catatan cerita: Cerita SedihTemplate by Bamz Templates|suport by Wibialwis Blog |Support Googel