Awalnya sih sulit untuk mengungkapkan kepada sobat semua tentang keadaan buruk ini. Keadaan yang membawa diriku berada di tengah-tengah banyak orang yang hampir 75% dari mereka tak kukenali. Yah, ini adalah suasana terburuk sepanjang perjalanan hidupku, selain malu dan gak pede, aku paling gak suka dengan keramaian. Kau tahu sobat? Ini adalah suasana saat-saat aku berada di kampus. Sebagai mahasiswi jurusan Teknik Informatika pada Sekolah Tinggi Ilmu Komputer yang berada di Banyuwangi ini, aku kerap kali merasakan ada keganjalan yang setiap saat menghampiri. Jelas saja, ditengah-tengah keramaian itu, hanya aku yang tak paham dengan bahasa daerah tersebut. So pasti, aku wong Ambon. Eheheheh…. Yah, aku memang lahir dan besar di Ambon, Maluku. Tapi sebenarnya aku berasal dari daerah gandrung ini. Silsilahnya, ibuku itu asli Ambon dan bapakku asli Banyuwangi. Soal gimana mereka bisa ketemu, itu serahkan saja sama yang di Atas, sebagai anak hanya bisa pasrah karena telah dilahirkan di dunia ini, ehehehhehe….
Merasa terpojok tanpa banyak teman, itulah yang harus aku terima. Ceritanya seperti ini. Hari itu jadwal kuliah aku dari jam 4.15-5.15 atau sesi satu waktu kuliah. Kebetulan dosennya tidak masuk dengan alasan rumahnya kebanjiran, “sungguh alasan yang jarang aku temui di musim kemarau seperti ini”. Saat itu aku masih berdandan rapih di depan cermin, temanku telepon dan mengatakan dosennya tidak hadir. Terus saja aku melanjutkan dandananku itu. Selain niat untuk menerima materi, aku sering meluangkan waktu kosong dengan internetan di ruang Lab Perpustakaan kampus. Hampir setengah jam aku berada di kamar sambil membenarkan jilbabku yang tak kalah heboh berantakan. Keringatku perlahan bercucuran membasahi baju dan wajahku, maklum aku hanya anak kos yang merantau jauh dari orang tua, jadi untuk membeli kipas angin saja tidak sanggup, apalagi membeli Ac, hem… sungguh mustahil.
Setelah berada di kampus dengan perjalanan kurang lebih 50 meter itu (ehehe…. Kos-kosanku tepat berada di belakang kampus), tak satupun teman yang aku kenali. Seperti biasanya, dengan kepala merunduk sembari menekan tombol-tombol ponsel, aku berjalan pelan menuju ruang Lab Perpustakaan. Padahal pulsa di ponselku habis, lagakku layaknya orang yang sedang SMS .ahahahahah…… kanker, alias kantong kering. Tak apalah, selagi aku masih punya kesibukan. Busyeett… Lab Perpustakaannya tutup. Sungguh suatu hal yang menjengkelkan. Berjalan dengan wajah setengah marah, aku bertemu dengan Tika, teman satu kelasku yang sedang duduk pada deretan anak tangga.
“Heii La.. kemana?” Tanya tika
“Ini, dari Perpustakaan, tapi tutup”. Setengah hati aku menjawabnya.
“Owalah.. perpus terus Shila ini.” Ejek Tika halus
“Yee.. wong aku gak punya laptop tik..tik..”. jawabku enteng
Entah apa yang harus aku lakukan saat itu. Berjalan menuju halaman kampus, dan duduk menghabiskan kesendirianku ditempat itu, sekali lagi dengan lagak SMS-an. Aku dengan pedenya menekan tombol-tombol ponsel tut..tut..tut.. itu, mahfum, ini ponsel keluaran baru dengan tipe yang sangat-sangat klasik dan jadul, ahahahahha..
Aku menatap satu per satu dari mereka yang lewat dihadapanku. Aku juga sedang melihat mereka yang asyik bermain laptop, dua orang sijoli yang tengah berpacaran, dan mereka yang asyik tertawa bersama teman-temannya. Sungguh pemandangan yang membuat aku iri. Ingin pergi meninggalkan tempat ini, tapi hanya tempat ini yang paling mengerti kesendirianku, kebetulan juga aku punya jadwal kuliah pada sesi ke-2. Dengan sabarnya menunggu, tiba-tiba Rina datang menghampiriku dari arah belakang.
“Hei… nglamun aja”. Sentak Rina
“Duh..kaget aku Rin”.
“Kok sendiri? Gabung ama kita yuk”.
Dengan senang hati, aku melangkah menuju tempat nongkrong Rina bersama teman-temannya itu. Sedikit legah dengan suasana seperti ini. Tapi, lagi-lagi aku tak paham dengan omongan mereka. “apa sih maksudnya?”. Tiga kata itu yang selalu aku lontarkan dalam hati.
“Hei… entar kul apa kamu shil ?” tanya Edoi yang sejak tadi asyik bermain laptop
“Desain grafis. Kamu”?
“Aku jaringan komputer”.
Pertanyaan sekilas itu sungguh tak mengubah suasana hatiku saat ini. Entah setan apa yang tiba-tiba membawa mereka pergi meninggalkan aku. Satu per satu menghilang entah kemana, dan ujung-ujungnya, aku sendiri lagi. Ponsel tut..tut..tut itu teman sejatiku. Walaupun tipenya jadul, tapi sering kali kujadikan sebagai diary kecilku. Dengan lincah, jari-jariku menari sembari menekan huruf demi huruf dan merangkaikan keluhan hati yang saat itu aku rasakan. Dalam bait kalimatnya, ada beberapa kata yang membuat aku kecewa, tapi pada sisi lain, aku mulai legah karena dapat mencurahkan segala isi hati ini yang sejak tadi termakan amarah. “Benar-benar sial, udah dandan rapih eh malah dosennya nggak masuk, niat buat internetan malah tutup ruangannya, setelah itu duduk terpaku menyendiri di halaman kampus seperti orang gila yang dijahui banyak teman. Mungkin hanya itu, bahasa yang mereka gunakan masih asing dan sulit aku pahami. Ada rada-rada nggak nyambung juga sih,ehehe….
Kejadian ini sungguh mengingatkan aku tentang dua tahun kemarin. Dimana saat aku masih duduk di bangku SMA, ada siswi pindahan dari Bogor, Jawa Barat. Namanya Lona. Dengan gaya rambutnya yang pirang coklat, rok seragam yang lumayan pendek, dan sepatu sekolah yang berwarna biru itu, Lona sering dijadikan bahan pembicaraan banyak siswa di sekolah. Selain gayanya yang tidak sesuai dengan peraturan sekolah, Lona juga ternyata memiliki cara berbicara yang berbeda dengan anak-anak yang lain, maklumlah, Lona lahir dan besar di kota teh itu. Saat berkumpul bersama aku dan teman-teman, Lona terlihat lebih banyak diam, dan selalu menebar senyum. Jawabannya ketika ditanya hanya iya, iya, dan iya. Hingga pada suatu hari, Lona mendapat musibah di jalan karena tak sengaja menabrak gerobak buah yang saat itu tepat berada di belakangnya. Kaki Lona tiba-tiba menghantam gerobak buah itu sehingga terpelanting dan mundur beberapa meter dari tempat parkirannya.
“maaf pak, aku nggak sengaja”. Ujar Lona ketakutan
“seng bisa, ganti capat”. Jawab penjual buah itu
“Iya pak”
Eheheh…. Dalam percakapan singkat itu, jelas sudah untuk Lona menanggapinya dengan baik, padahal anggapan penjual itu lain. Ia terliahat ketakutan tanpa mengeluarkan satu kata pun”. Sambil menarik-narik baju aku, Lona bertanya tentang apa yang dikatakan penjual buah tersebut. Ternyata, penjual buah itu hanya menginginkan Lona untuk mengganti semua buah yang telah dia jatuhkan. Dengan uang seratus ribu rupiah, Lona menutupi kesalahnnya.
Percakapan itu berasal dari dua bahasa daerah , Lona sendiri dengan logat Bogornya, dan penjual itu jelas-jelas menggunakan logat Ambon. Lona terlihat malu didepan aku dan teman-teman yang lain.
Selain kisah tentang Lona, aku juga teringat dengan kejadian tiga tahun lalu dimana saat awal aku menjadi siswi putih abu-abu. Ada seorang temanku, ia bernama Heru. Heru lahir dan besar di Padang, Sumatera Barat. Dengan ajakan keluarganya ke Ambon, Heru rela meninggalkan teman-temannya yang berada di Padang. Dengan wajah yang lumayan oke, gaya celannya ala barat, dan rambutnya yang tak kalah oke.Heru menjadi perhatian banyak orang saat itu. Saat menjalani masa-masa percobaan menjadi siswa baru, Heru seringkali menjadi bahan tertawaan dengan logat Padangnya, yang menurut aku sendiri seperti kita sedang berada di negeri Malaya sana. Tekanan kata dan senyumannya itu membuat semua orang tak lepas dari pandangan mereka. Heru juga selalu menjadi bahan percontohan ketika berada di kelas, misalnya ia sering dianggap sebagai artislah, pokoknya hal-hal yang membuat perut kita menggelitik.
Lepas dari beberapa pengalaman yang aku temui di atas. Ada sebuah pengalaman penting yang tak dapat terlupakan sepanjang hidupku ini. Saat berjalan menuju kampus, aku sempat disakiti oleh seseorang yang wajahnya tak dapat kukenali. Dengan bertutupan helm hitam, baju hijau, dan menggunakan motor metik, pria itu dengan berani memegang daerah disekitar dadaku, hingga untuk berteriak saja aku tak mampu melakukannya. Suara ini seakan tersangkut di tenggorokan. Dengan tubuh yang gemetar dan ketakutan, aku berjalan perlahan-lahan menuju kampus. Saat itulah, aku dapat merasakan akibat buruk dari kesendirianku. Mungkin itu sebuah peringatan bagaimana aku bisa menerima kenyataan dan mendekatkan diri dengan lingkungan sekitar. Sejak saat itu, aku perlahan mendekati mereka yang jarang menyapaku. Dengan mereka yang tak pernah aku kenal sekalipun. Hingga kini, aku merasa lebih leluasa, mencoba untuk mengerti dan belajar tentang kehidupanku yang baru.
Merasa terpojok tanpa banyak teman, itulah yang harus aku terima. Ceritanya seperti ini. Hari itu jadwal kuliah aku dari jam 4.15-5.15 atau sesi satu waktu kuliah. Kebetulan dosennya tidak masuk dengan alasan rumahnya kebanjiran, “sungguh alasan yang jarang aku temui di musim kemarau seperti ini”. Saat itu aku masih berdandan rapih di depan cermin, temanku telepon dan mengatakan dosennya tidak hadir. Terus saja aku melanjutkan dandananku itu. Selain niat untuk menerima materi, aku sering meluangkan waktu kosong dengan internetan di ruang Lab Perpustakaan kampus. Hampir setengah jam aku berada di kamar sambil membenarkan jilbabku yang tak kalah heboh berantakan. Keringatku perlahan bercucuran membasahi baju dan wajahku, maklum aku hanya anak kos yang merantau jauh dari orang tua, jadi untuk membeli kipas angin saja tidak sanggup, apalagi membeli Ac, hem… sungguh mustahil.
Setelah berada di kampus dengan perjalanan kurang lebih 50 meter itu (ehehe…. Kos-kosanku tepat berada di belakang kampus), tak satupun teman yang aku kenali. Seperti biasanya, dengan kepala merunduk sembari menekan tombol-tombol ponsel, aku berjalan pelan menuju ruang Lab Perpustakaan. Padahal pulsa di ponselku habis, lagakku layaknya orang yang sedang SMS .ahahahahah…… kanker, alias kantong kering. Tak apalah, selagi aku masih punya kesibukan. Busyeett… Lab Perpustakaannya tutup. Sungguh suatu hal yang menjengkelkan. Berjalan dengan wajah setengah marah, aku bertemu dengan Tika, teman satu kelasku yang sedang duduk pada deretan anak tangga.
“Heii La.. kemana?” Tanya tika
“Ini, dari Perpustakaan, tapi tutup”. Setengah hati aku menjawabnya.
“Owalah.. perpus terus Shila ini.” Ejek Tika halus
“Yee.. wong aku gak punya laptop tik..tik..”. jawabku enteng
Entah apa yang harus aku lakukan saat itu. Berjalan menuju halaman kampus, dan duduk menghabiskan kesendirianku ditempat itu, sekali lagi dengan lagak SMS-an. Aku dengan pedenya menekan tombol-tombol ponsel tut..tut..tut.. itu, mahfum, ini ponsel keluaran baru dengan tipe yang sangat-sangat klasik dan jadul, ahahahahha..
Aku menatap satu per satu dari mereka yang lewat dihadapanku. Aku juga sedang melihat mereka yang asyik bermain laptop, dua orang sijoli yang tengah berpacaran, dan mereka yang asyik tertawa bersama teman-temannya. Sungguh pemandangan yang membuat aku iri. Ingin pergi meninggalkan tempat ini, tapi hanya tempat ini yang paling mengerti kesendirianku, kebetulan juga aku punya jadwal kuliah pada sesi ke-2. Dengan sabarnya menunggu, tiba-tiba Rina datang menghampiriku dari arah belakang.
“Hei… nglamun aja”. Sentak Rina
“Duh..kaget aku Rin”.
“Kok sendiri? Gabung ama kita yuk”.
Dengan senang hati, aku melangkah menuju tempat nongkrong Rina bersama teman-temannya itu. Sedikit legah dengan suasana seperti ini. Tapi, lagi-lagi aku tak paham dengan omongan mereka. “apa sih maksudnya?”. Tiga kata itu yang selalu aku lontarkan dalam hati.
“Hei… entar kul apa kamu shil ?” tanya Edoi yang sejak tadi asyik bermain laptop
“Desain grafis. Kamu”?
“Aku jaringan komputer”.
Pertanyaan sekilas itu sungguh tak mengubah suasana hatiku saat ini. Entah setan apa yang tiba-tiba membawa mereka pergi meninggalkan aku. Satu per satu menghilang entah kemana, dan ujung-ujungnya, aku sendiri lagi. Ponsel tut..tut..tut itu teman sejatiku. Walaupun tipenya jadul, tapi sering kali kujadikan sebagai diary kecilku. Dengan lincah, jari-jariku menari sembari menekan huruf demi huruf dan merangkaikan keluhan hati yang saat itu aku rasakan. Dalam bait kalimatnya, ada beberapa kata yang membuat aku kecewa, tapi pada sisi lain, aku mulai legah karena dapat mencurahkan segala isi hati ini yang sejak tadi termakan amarah. “Benar-benar sial, udah dandan rapih eh malah dosennya nggak masuk, niat buat internetan malah tutup ruangannya, setelah itu duduk terpaku menyendiri di halaman kampus seperti orang gila yang dijahui banyak teman. Mungkin hanya itu, bahasa yang mereka gunakan masih asing dan sulit aku pahami. Ada rada-rada nggak nyambung juga sih,ehehe….
Kejadian ini sungguh mengingatkan aku tentang dua tahun kemarin. Dimana saat aku masih duduk di bangku SMA, ada siswi pindahan dari Bogor, Jawa Barat. Namanya Lona. Dengan gaya rambutnya yang pirang coklat, rok seragam yang lumayan pendek, dan sepatu sekolah yang berwarna biru itu, Lona sering dijadikan bahan pembicaraan banyak siswa di sekolah. Selain gayanya yang tidak sesuai dengan peraturan sekolah, Lona juga ternyata memiliki cara berbicara yang berbeda dengan anak-anak yang lain, maklumlah, Lona lahir dan besar di kota teh itu. Saat berkumpul bersama aku dan teman-teman, Lona terlihat lebih banyak diam, dan selalu menebar senyum. Jawabannya ketika ditanya hanya iya, iya, dan iya. Hingga pada suatu hari, Lona mendapat musibah di jalan karena tak sengaja menabrak gerobak buah yang saat itu tepat berada di belakangnya. Kaki Lona tiba-tiba menghantam gerobak buah itu sehingga terpelanting dan mundur beberapa meter dari tempat parkirannya.
“maaf pak, aku nggak sengaja”. Ujar Lona ketakutan
“seng bisa, ganti capat”. Jawab penjual buah itu
“Iya pak”
Eheheh…. Dalam percakapan singkat itu, jelas sudah untuk Lona menanggapinya dengan baik, padahal anggapan penjual itu lain. Ia terliahat ketakutan tanpa mengeluarkan satu kata pun”. Sambil menarik-narik baju aku, Lona bertanya tentang apa yang dikatakan penjual buah tersebut. Ternyata, penjual buah itu hanya menginginkan Lona untuk mengganti semua buah yang telah dia jatuhkan. Dengan uang seratus ribu rupiah, Lona menutupi kesalahnnya.
Percakapan itu berasal dari dua bahasa daerah , Lona sendiri dengan logat Bogornya, dan penjual itu jelas-jelas menggunakan logat Ambon. Lona terlihat malu didepan aku dan teman-teman yang lain.
Selain kisah tentang Lona, aku juga teringat dengan kejadian tiga tahun lalu dimana saat awal aku menjadi siswi putih abu-abu. Ada seorang temanku, ia bernama Heru. Heru lahir dan besar di Padang, Sumatera Barat. Dengan ajakan keluarganya ke Ambon, Heru rela meninggalkan teman-temannya yang berada di Padang. Dengan wajah yang lumayan oke, gaya celannya ala barat, dan rambutnya yang tak kalah oke.Heru menjadi perhatian banyak orang saat itu. Saat menjalani masa-masa percobaan menjadi siswa baru, Heru seringkali menjadi bahan tertawaan dengan logat Padangnya, yang menurut aku sendiri seperti kita sedang berada di negeri Malaya sana. Tekanan kata dan senyumannya itu membuat semua orang tak lepas dari pandangan mereka. Heru juga selalu menjadi bahan percontohan ketika berada di kelas, misalnya ia sering dianggap sebagai artislah, pokoknya hal-hal yang membuat perut kita menggelitik.
Lepas dari beberapa pengalaman yang aku temui di atas. Ada sebuah pengalaman penting yang tak dapat terlupakan sepanjang hidupku ini. Saat berjalan menuju kampus, aku sempat disakiti oleh seseorang yang wajahnya tak dapat kukenali. Dengan bertutupan helm hitam, baju hijau, dan menggunakan motor metik, pria itu dengan berani memegang daerah disekitar dadaku, hingga untuk berteriak saja aku tak mampu melakukannya. Suara ini seakan tersangkut di tenggorokan. Dengan tubuh yang gemetar dan ketakutan, aku berjalan perlahan-lahan menuju kampus. Saat itulah, aku dapat merasakan akibat buruk dari kesendirianku. Mungkin itu sebuah peringatan bagaimana aku bisa menerima kenyataan dan mendekatkan diri dengan lingkungan sekitar. Sejak saat itu, aku perlahan mendekati mereka yang jarang menyapaku. Dengan mereka yang tak pernah aku kenal sekalipun. Hingga kini, aku merasa lebih leluasa, mencoba untuk mengerti dan belajar tentang kehidupanku yang baru.