Kadang seseorang bisa menjadi begitu bosan dengan rutinitas harian mereka. Terkadang mereka bosan dengan pekerjaan yang dengannya mulut mereka tersuapi, kadang dengan pasangan yang telah memberi mereka anak. Dan beberapa orang aku ketahui mulai bosan dengan kehidupan, mereka bosan dengan Tuhan. Ada beberapa orang yang semakin hari semakin ramai di kalangan mereka. Mereka percaya bahwa alam mampu hadir tanpa peran Tuhan. Dan manusia mereka anggap berasal dari monyet.
Baiklah. Kita tidak akan membahas tentang mereka. Karena tugas kita adalah berbicara, mengajak dengan sebaik-baik bahasa dan perkataan. Masalah mereka menurut apa yang mereka pikirkan, atau apa yang kita pikirkan, itu adalah urusan Tuhan. Tugas kita bukan memaksa mereka, cuma Tuhan yang mampu memaksa. Tugas kita adalah cuma menyampaikan, apa yang semestinya tersampaikan.
Dan aku bosan. Aku mulai bosan dengan rutinitasku yang cuma hampir 24 jam berada di kamar bahkan tidak menjejakkan kaki ke pintu terluar atau pagar dari areal rumah ini. Sungguh aku bosan untuk terus berada di kamar. Aku ingin pergi, sama seperti orang pada umumnya: menikmati udara dan sinar mentari.
Aku bosan dengan laptopku yang cuma 1 jam aku matikan di antara 24 jam perputaran waktu sehari-semalam. Aku bosan dia tetap hidup dan terus bercahaya. Aku ingin di padam, lantas semua lampu juga aku matikan. Aku ingin nyenyak tertidur tanpa harus bangun dengan perasaan pelik dan gundah.
Aku rindu, ketika orang-orang berbicara kepadaku tentang masalah mereka. Entah mengapa, aku suka mendengarkan keluhan orang-orang. Mungkin, Tuhan pun suka mendengarkan orang-orang yang mengeluh, mereka yang berdoa saban hari kepada Tuhan, meminta sedikit belas-kasih-Nya itu. Ya, aku rindu ketika beberapa orang menangis di depanku ketika mereka membicarakan apa yang hendak mereka katakan. Aku ingin mendengarkan mereka yang terpukul, terjajah, ternoda, dan tersiksa.
Apa menurutmu aku kejam? Bukankah sesungguhnya lebih baik ketika orang-orang seperti demikian itu diam. Artinya, masalah telah pergi dari kehidupan mereka. Dan aku meminta agar mereka kembali memiliki masalah agar mereka kembali kepadaku. Bercerita tentang kisah-kisah mereka yang pelik dan penuh penderitaan. Aku tak tahu.
Atau mungkin dugaku, mereka itu memiliki kadar bosan yang sama denganku. Bosan menceritakan masalah mereka kepada orang yang sama tanpa menemui solusi dari apa yang mereka keluhkan. Mereka lebih baik berbicara kepada orang-orang yang lain, yang mungkin akan memeluk mereka ketika mereka bercerita, bukan cuma seseorang yang diam, mendengarkan, lantas pergi tanpa pesan. Mereka telah menemukan tong sampah yang lebih baik dariku.
Kemarin aku merenung. Kenapa Tuhan melarang seseorang untuk mati?
Banyak orang yang takut mati di dunia ini. Mereka memiliki ketakutan-ketakutan yang kejam dalam benak mereka, tentang mati dengan cara yang menggenaskan. Tentang kematian yang membuat orang-orang yang mencintai mereka terluka. Tentang kematian yang membuat anak-anak kehilangan bapaknya, dan istri harus menjadi janda. Tentang kematian yang tidak ingin mereka jalani, mereka takut perempuan-perempuan atau lelaki-lelaki mereka akan menemukan pasangan yang baru. Atau takut dengan gelapnya tanah. Atau mungkin, mereka belum memperoleh apa yang ingin mereka capai. Kesenangan infinity. Kesenangan yang tidak habisnya.
Jika Tuhan tidak ada. Jika surga dan neraka hanya dongeng. Lantas, untuk apa kita hidup dan berkarya. Apakah kelak ketika nama kita dikenang di dunia akan bermanfaat bagi kita yang telah menjadi rangka, atau malah telah bersatu menjadi tanah baru bagi bumi ini. Dan jika memang demikian adanya, sungguh beruntung mereka yang memuja keheningan semesta. Mereka yang berjuang untuk tidak terlahirkan kembali. Karena Tuhan tidak ada, maka mereka telah menemukan oase mimpi mereka.Hidup adalah dongeng. Manusia adalah budak dari semua dongeng.
Manusia hidup dengan aturan yang mereka ciptakan untuk memperbudak mereka. Manusia hidup dari strata-strata yang mereka ciptakan sendiri untuk mengekang mereka. Manusia membuat tiran bagi diri mereka sendiri. Menjadi budak bagi apa yang mereka bangun sendiri. Terkutuk.
Bahkan hewan lebih tinggi derajatnya. Toh mereka cuma diperbudak oleh tuannya. Dan manusia yang merasa cerdas, mereka diperbudak oleh diri mereka sendiri. Bayangkan! Mereka memilih menjadi budak karena keinginan mereka sendiri. Karena keinginan mereka sendiri.
Aku pun budak. Aku adalah budak dari kebosanan. Rasa bosan berbentuk penjara yang aku ciptakan sendiri di dalam pikiranku. Rasa terkekang ketika tidak bertemu dengan orang-orang. Rasa takut ketika bertemu dengan manusia-manusia baru. Aku menciptakan diriku sendiri sebagai budak untuk diperbudak oleh dia yang aku ciptakan. Tolol bukan?
Sungguh tolol. Kita menciptakan sesuatu untuk menjadi tuan dan kita menjadi budak bagi apa yang kita ciptakan. Apa itu? Infinity. Tidak terbatas. Kita diperbudak oleh kehidupan kita, oleh sosial kita, oleh pandangan orang-orang, oleh iblis, oleh napsu, oleh kebebasan yang kita anggap kebenaran.
Lantas ketika orang menjadi baik, apakah itu salah? Pertanyaan tersebut yang salah. Menjadi baik tidaklah salah. Yang salah adalah apakah kita diperbudak oleh menjadi baik itu atau tidak. Ketika kita menjadi baik untuk dianggap baik, itulah yang salah. Ketika itu, kita telah menjadi budak wibawa.
Lantas ketika orang yang mencoba berontak dengan semua ini, mereka yang hidup hura-hura, apakah itu yang benar? Pertanyaan itu juga salah. Menjadi hura-hura sesungguhnya adalah menjadi budak. Kita terus mengejar kesenangan, kita menjadi budak oleh apa yang kita sebut kesenangan. Dan kita kemudian akan diperbudak oleh kesenangan. Tak ada beda dengan pertanyaan pertama.
Lantas bagaimana?
Jadilah bebas. Jadilah manusia. Mereka yang hidup untuk mencari kebahagian, mereka adalah budak. Karena kebahagiaan bukanlah untuk dicari, karena dia memang tidak pernah hilang. Cukup kita menyadari, bahwa kebahagian itu sejatinya ada di dalam diri kita sendiri. Di dalam hati.
Manusia sejati itu adalah representasi Tuhan. Citraan Tuhan. Manusia adalah nama keseratus Tuhan. Tuhan telah menciptakan 99 nama bagi diri-Nya sendiri, dan manusialah yang menjadi nama keseratus. Perwujudan Tuhan bagi kedamaian bumi ini.
Baiklah. Kita tidak akan membahas tentang mereka. Karena tugas kita adalah berbicara, mengajak dengan sebaik-baik bahasa dan perkataan. Masalah mereka menurut apa yang mereka pikirkan, atau apa yang kita pikirkan, itu adalah urusan Tuhan. Tugas kita bukan memaksa mereka, cuma Tuhan yang mampu memaksa. Tugas kita adalah cuma menyampaikan, apa yang semestinya tersampaikan.
Dan aku bosan. Aku mulai bosan dengan rutinitasku yang cuma hampir 24 jam berada di kamar bahkan tidak menjejakkan kaki ke pintu terluar atau pagar dari areal rumah ini. Sungguh aku bosan untuk terus berada di kamar. Aku ingin pergi, sama seperti orang pada umumnya: menikmati udara dan sinar mentari.
Aku bosan dengan laptopku yang cuma 1 jam aku matikan di antara 24 jam perputaran waktu sehari-semalam. Aku bosan dia tetap hidup dan terus bercahaya. Aku ingin di padam, lantas semua lampu juga aku matikan. Aku ingin nyenyak tertidur tanpa harus bangun dengan perasaan pelik dan gundah.
Aku rindu, ketika orang-orang berbicara kepadaku tentang masalah mereka. Entah mengapa, aku suka mendengarkan keluhan orang-orang. Mungkin, Tuhan pun suka mendengarkan orang-orang yang mengeluh, mereka yang berdoa saban hari kepada Tuhan, meminta sedikit belas-kasih-Nya itu. Ya, aku rindu ketika beberapa orang menangis di depanku ketika mereka membicarakan apa yang hendak mereka katakan. Aku ingin mendengarkan mereka yang terpukul, terjajah, ternoda, dan tersiksa.
Apa menurutmu aku kejam? Bukankah sesungguhnya lebih baik ketika orang-orang seperti demikian itu diam. Artinya, masalah telah pergi dari kehidupan mereka. Dan aku meminta agar mereka kembali memiliki masalah agar mereka kembali kepadaku. Bercerita tentang kisah-kisah mereka yang pelik dan penuh penderitaan. Aku tak tahu.
Atau mungkin dugaku, mereka itu memiliki kadar bosan yang sama denganku. Bosan menceritakan masalah mereka kepada orang yang sama tanpa menemui solusi dari apa yang mereka keluhkan. Mereka lebih baik berbicara kepada orang-orang yang lain, yang mungkin akan memeluk mereka ketika mereka bercerita, bukan cuma seseorang yang diam, mendengarkan, lantas pergi tanpa pesan. Mereka telah menemukan tong sampah yang lebih baik dariku.
Kemarin aku merenung. Kenapa Tuhan melarang seseorang untuk mati?
Banyak orang yang takut mati di dunia ini. Mereka memiliki ketakutan-ketakutan yang kejam dalam benak mereka, tentang mati dengan cara yang menggenaskan. Tentang kematian yang membuat orang-orang yang mencintai mereka terluka. Tentang kematian yang membuat anak-anak kehilangan bapaknya, dan istri harus menjadi janda. Tentang kematian yang tidak ingin mereka jalani, mereka takut perempuan-perempuan atau lelaki-lelaki mereka akan menemukan pasangan yang baru. Atau takut dengan gelapnya tanah. Atau mungkin, mereka belum memperoleh apa yang ingin mereka capai. Kesenangan infinity. Kesenangan yang tidak habisnya.
Jika Tuhan tidak ada. Jika surga dan neraka hanya dongeng. Lantas, untuk apa kita hidup dan berkarya. Apakah kelak ketika nama kita dikenang di dunia akan bermanfaat bagi kita yang telah menjadi rangka, atau malah telah bersatu menjadi tanah baru bagi bumi ini. Dan jika memang demikian adanya, sungguh beruntung mereka yang memuja keheningan semesta. Mereka yang berjuang untuk tidak terlahirkan kembali. Karena Tuhan tidak ada, maka mereka telah menemukan oase mimpi mereka.Hidup adalah dongeng. Manusia adalah budak dari semua dongeng.
Manusia hidup dengan aturan yang mereka ciptakan untuk memperbudak mereka. Manusia hidup dari strata-strata yang mereka ciptakan sendiri untuk mengekang mereka. Manusia membuat tiran bagi diri mereka sendiri. Menjadi budak bagi apa yang mereka bangun sendiri. Terkutuk.
Bahkan hewan lebih tinggi derajatnya. Toh mereka cuma diperbudak oleh tuannya. Dan manusia yang merasa cerdas, mereka diperbudak oleh diri mereka sendiri. Bayangkan! Mereka memilih menjadi budak karena keinginan mereka sendiri. Karena keinginan mereka sendiri.
Aku pun budak. Aku adalah budak dari kebosanan. Rasa bosan berbentuk penjara yang aku ciptakan sendiri di dalam pikiranku. Rasa terkekang ketika tidak bertemu dengan orang-orang. Rasa takut ketika bertemu dengan manusia-manusia baru. Aku menciptakan diriku sendiri sebagai budak untuk diperbudak oleh dia yang aku ciptakan. Tolol bukan?
Sungguh tolol. Kita menciptakan sesuatu untuk menjadi tuan dan kita menjadi budak bagi apa yang kita ciptakan. Apa itu? Infinity. Tidak terbatas. Kita diperbudak oleh kehidupan kita, oleh sosial kita, oleh pandangan orang-orang, oleh iblis, oleh napsu, oleh kebebasan yang kita anggap kebenaran.
Lantas ketika orang menjadi baik, apakah itu salah? Pertanyaan tersebut yang salah. Menjadi baik tidaklah salah. Yang salah adalah apakah kita diperbudak oleh menjadi baik itu atau tidak. Ketika kita menjadi baik untuk dianggap baik, itulah yang salah. Ketika itu, kita telah menjadi budak wibawa.
Lantas ketika orang yang mencoba berontak dengan semua ini, mereka yang hidup hura-hura, apakah itu yang benar? Pertanyaan itu juga salah. Menjadi hura-hura sesungguhnya adalah menjadi budak. Kita terus mengejar kesenangan, kita menjadi budak oleh apa yang kita sebut kesenangan. Dan kita kemudian akan diperbudak oleh kesenangan. Tak ada beda dengan pertanyaan pertama.
Lantas bagaimana?
Jadilah bebas. Jadilah manusia. Mereka yang hidup untuk mencari kebahagian, mereka adalah budak. Karena kebahagiaan bukanlah untuk dicari, karena dia memang tidak pernah hilang. Cukup kita menyadari, bahwa kebahagian itu sejatinya ada di dalam diri kita sendiri. Di dalam hati.
Manusia sejati itu adalah representasi Tuhan. Citraan Tuhan. Manusia adalah nama keseratus Tuhan. Tuhan telah menciptakan 99 nama bagi diri-Nya sendiri, dan manusialah yang menjadi nama keseratus. Perwujudan Tuhan bagi kedamaian bumi ini.