Berikan Selagi Ada Kesempatan

Malam ini terasa amat dingin, sunyi dan sepi... Aku memandang ke sekeliling ruangan kamar ayahanda. Ibu, adik-adik, bibi dan pamanku ada di sana dengan tangisan pilu mereka. Ini adalah malam terakhir kami berkumpul bersama ayah, pahlawan kami tercinta. Setelah bertahun-tahun mengidap penyakit jantung dan diabetes, dan berbulan-bulan lamanya dirawat di RS, akhirnya ayah "memilih" pergi untuk selamanya. Aku menggigit bibir, perih menatap tubuhnya yang begitu kurus. Ia tak segagah dulu, seperti ketika ia masih sehat dan memimpin perusahaan serta bisnisnya. Ayahku kini berbeda... Namun, ia seorang ayah yang tetap sama. Yang begitu mencintai isteri dan anak-anaknya.. Yang selalu siap berkorban bagi kami... Ia tetap manusia yang sama. Yang menyayangi setiap orang dengan amat dalam... Yang selalu berusaha membahagiakan orang lain..

Airmata menggenang di pipiku, tak kuasa aku menahan perih dan kesedihan. Sesaat, pikiranku melayang ke masa lalu. Selama bertahun-tahun lalu, kerapkali aku melukai hati sang ayahanda. Kata-katanya yang disampaikan sebagai nasihat, selalu kusalahartikan dan kuanggap sebagai cara seorang ayah otoriter yang ingin mengendalikan puterinya. Berkali-kali kami bertengkar. Hanya beberapa hari saja masa tenang berada di antara kami, setelah itu akan ada hal-hal yang kami ributkan, yang bila kurenungkan kini semuanya didasarkan atas kesalahanku. Ya, akulah yang bersalah! Ayah hanya berusaha menasihati. Karena rasa cintanya yang besar, ia berharap aku dapat berubah dan menjadi pribadi mengagumkan. Namun aku tak memahaminya..                                                                  

Pernah suatu hari kami bertengkar hebat. Lalu aku memutuskan untuk pergi dari rumah dengan diam-diam. Malam hari sebelum tidur, aku menyiapkan segalanya. Pakaian kumasukkan ke dalam beberapa tas. Buku-buku, arsip penting dll. Tak lupa kutorehkan rasa kecewa dan kekesalanku di atas sebuah kertas yang kumasukkan dalam sebuah amplop. Pada amplop itu ku tulis: "Untuk Ayah".

Esoknya, pagi-pagi sekali sebelum keluargaku terbangun, dengan mengendap-endap aku melangkah meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempatku bernaung. Hampir dua minggu lamanya aku pergi, meski akhirnya aku kembali ke rumah setelah kakakku mengirimkan sms yang berisi permohonannya agar aku kembali karena ayah sangat bersedih dan merasa bersalah. Ia khawatir bahwa rasa sedihnya itu akan semakin memperparah penyakit jantung ayah, yang seharusnya tak boleh berbeban berat.

Aku kembali ke rumah dengan sambutan ayah yang begitu baik. Ah, ia memang selalu berusaha meminta maaf padaku dan memperbaiki keadaan, meskipun akulah yang bersalah. Sedangkan aku terlalu sombong untuk memujanya.

Hari-hari berlalu, kurasakan ayah begitu berusaha agar aku tak marah lagi kepadanya. Ia sangat hati-hati dalam berbicara dan bersikap. Namun penyakitnya semakin hari semakin memburuk. Ia semakin sering merasakan sesak, sulit tidur, cepat lelah dll. Sampai akhirnya ayah harus dilarikan ke RS. Selama beberapa bulan ayah dirawat di beberapa RS yang berbeda, namun keadaannya tak jua membaik. Bahkan menurut para dokter, daya pompa jantungnya hanya tinggal 20 %. Operasi jantungpun bisa jadi gagal. Mendengar pernyataan dokter, membuat ayah mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang besar baginya dan bagi kami. Ayah ingin dirawat di rumah saja! Ia memikirkan biaya operasi yang amat besar, padahal belum tentu berhasil. Jangan-jangan malah hanya akan meninggalkan hutang bagi kami, begitu pikirnya. Di samping ayah ingin melewatkan hari-harinya bersama keluarga. Seperti dulu..

Sayangnya kesempatan berkumpul bersama ayah, tak kupergunakan dengan amat baik. Aku malah seringkali menghabiskan waktu untuk bekerja di kantor. Pergi di pagi hari, dan pulang malam hari. Begitu setiap hari. Niatku mungkin tidaklah buruk, aku hanya berusaha mendapatkan uang banyak agar dapat membantu biaya pengobatan ayah. Namun ternyata aku tak bijaksana. Seharusnya aku tahu bahwa yang paling dibutuhkan ayah saat itu adalah waktuku. Waktu untuk bersama dengannya. Waktu untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Waktu untuk menyatakan rasa cinta di hati kami. Waktu yang tinggal sedikit baginya... Oh Tuhan Yesus, andaikan aku mengerti... Hanya dua minggu ayah di rumah. Dua minggu kesempatan yang diberikan Tuhan bagiku untuk memperbaiki segalanya, namun kusia-siakan.

Hari ini, sabtu 11 Maret 2006 pukul 01.10 dini hari, ayah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Pada menit-menit terakhir sebelum ia pergi, aku mendengar dengan jelas tarikan nafasnya yang tertatih-tatih. Pada menit-menit terakhir itu aku menyadari segala kesalahan yang telah kubuat padanya, luka yang sering kugoreskan di hatinya yang mungkin telah memperparah penyakitnya selama ini. Aku mengingat kasih sayangnya dan segala bentuk kebaikannya. Aku merindukan tawanya, amarahnya, nasihatnya...

Di detik terakhir sebelum tarikan panjang nafasnya, tanda hidupnya di dunia telah berakhir, aku mengucapkan dua kata yang selama ini sulit kuucapkan kepadanya yakni: "Ayahku Sayang...". Ya, aku sangat menyayanginya namun tak pernah menyatakan dan mengekspresikan kasih sayang di hatiku. Aku menyesali setiap kesempatan yang pernah ada yang kubiarkan berlalu begitu saja tanpa ungkapan cinta padanya.  Aku menyesal....

Selagi waktu masih ada, berilah dan nyatakanlah cinta dan sayangmu kepada orang-orang yang selama ini telah menjadi bagian dalam hidupmu, dan sungguh berarti bagimu. Karena bila kesempatan itu telah pergi, engkau akan menyesalinya teramat dalam. Lebih menyakitkan dari rasa kehilangan itu sendiri.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar sahabat adalah inspirasi saya !!!!

◄ Posting Baru Posting Lama ►