Pasti pernah melakukan quick sex kan? Entah di mobil, di dapur, di lift kantor, di toilet gedung pas mau menghadiri resepsi perkawinan, atau bahkan mungkin di toilet pesawat yang sedang mengudara? Bagaimana sensasinya? Sungguh liar biasa bukan? Rasa mendebarkan karena buru-buru, was-was karena takut ketauan, dan menggebu-gebu seolah dikejar oleh sesuatu yg tak jelas itu ternyata bisa menambah variasi dalam hubungan seks. Tentu saja saya hanya bertanya kepada mereka yang sudah berpasangan hidup, dan bukan kepada mereka yang masih single. Tapi buat peserta arisan jablay, apalagi DPJ (Dewan Pembina Jablay) boleh juga berkomentor kok hihihi…
Belum lama ini ada seorang teman (sebut saja Lidya) yang menceritakan tentang pengalaman seks kilatnya bersama suami sewaktu menghadiri resepsi perkawinan. Entah kenapa pula mereka melakukan di toilet gedung, dan bukannya melakukan di rumah sebelum berangkat ke pesta. “Seru lho, waktu itu malah kondomnya sempet ketinggalan di dedek gue. Dan tau nggak, gue baru nyadar pas lagi antri di prasmanan!”, dia terkikik waktu menceritakan hal tersebut. Tak lupa pula dia mengatakan, bahwa sesekali secara diam-diam Si Lidya ini sempet repot rogoh-rogoh gaun pestanya, mencoba membebaskan slempitan kondom yang masih membandel sambil membetulkan CD yang terasa nyempil. “Kok bisa? Trus kok sempet-sempetnya laki loe pasang kondom, katanya quick sex?”, sempet bengong juga saya bertanya. “Ya disempet-sempetin lah, kami belum pengen punya baby. Jadi biarpun kemana saja, kapan saja, kalau nggak gue yang nyimpen di tas pasti dia juga sedia kondom di dompetnya”, jawabnya ringan.
Hm, ternyata ada juga pepatah bisa diambil dari sini, sedia kondom sebelum berpergian. Saya cuma manggut-manggut sambil diam-diam mulai mengikuti jejak rekam teman saya ini. Hehehehe…, buat persiapan nggak ada salahnya kan? Bukan hanya karena mau hujan saja kita musti sedia payung
Belum lama ini ada seorang teman (sebut saja Lidya) yang menceritakan tentang pengalaman seks kilatnya bersama suami sewaktu menghadiri resepsi perkawinan. Entah kenapa pula mereka melakukan di toilet gedung, dan bukannya melakukan di rumah sebelum berangkat ke pesta. “Seru lho, waktu itu malah kondomnya sempet ketinggalan di dedek gue. Dan tau nggak, gue baru nyadar pas lagi antri di prasmanan!”, dia terkikik waktu menceritakan hal tersebut. Tak lupa pula dia mengatakan, bahwa sesekali secara diam-diam Si Lidya ini sempet repot rogoh-rogoh gaun pestanya, mencoba membebaskan slempitan kondom yang masih membandel sambil membetulkan CD yang terasa nyempil. “Kok bisa? Trus kok sempet-sempetnya laki loe pasang kondom, katanya quick sex?”, sempet bengong juga saya bertanya. “Ya disempet-sempetin lah, kami belum pengen punya baby. Jadi biarpun kemana saja, kapan saja, kalau nggak gue yang nyimpen di tas pasti dia juga sedia kondom di dompetnya”, jawabnya ringan.
Hm, ternyata ada juga pepatah bisa diambil dari sini, sedia kondom sebelum berpergian. Saya cuma manggut-manggut sambil diam-diam mulai mengikuti jejak rekam teman saya ini. Hehehehe…, buat persiapan nggak ada salahnya kan? Bukan hanya karena mau hujan saja kita musti sedia payung
Cerita quickies ini terjadi pas saya masih menikmati masa cuti di rumah setelah tiga bulan bergelut lumpur dan keringat di lapangan.
Kira-kira sebulan yang lalu ketika sedang mencari-cari alamat seorang rekan yang pindah rumah ke komplek baru di pinggiran Jakarta, saya dan istri sampai kepayahan karena alamat yang diberikan sungguh-sungguh nggak jelas dan bikin pusing tujuh belas keliling. “Pokoknya, begitu masuk gerbang ikuti aja jalan utama, nanti ketemu bundaran langsung belok kanan. Pas gang ke-empat belok kiri, masuk aja lurus sampai ketemu pohon gede dan kebun nanas yang lagi berkembang. Nah, kalau udah ketemu langsung belok kanan. Oiya, jangan lupa ngitung kalau udah nglewatin tujuh belas polisi tidur, di sebelah kanan ada gerobak Rujak Ulek pas di depan rumah. Nah itu rumah gue”, terangnya mencoba secara rinci di telepon ketika kami menghubungi dua hari sebelumnya.
Benar-benar alamat yang sulit. “Blok apa dan nomor berapa?”, kejar saya penasaran. Lucunya, rekan tersebut belum terlalu hafal dengan blok rumah yang baru ditempatinya 5 hari yang lalu, karena rumah dan segala kwitansi pembelian sudah diurus suaminya dan si rekan tersebut tinggal menempati dan mengatur isinya saja. “Ngggg… apa yaaa? Udah deh, pokoknya aja ikutin petunjuk gue, pasti nyampe..”, sekali lagi dia mencoba meyakinkan kami. Oke lah, kami akan mencoba mencarinya. Maka perjuangan itu pun dimulai.
Sesuai kekhawatiran sejak awal, kami benar-benar nggak ketemu dengan rumah sesuai ancer-ancernya karena gerobak Rujak Ulek yang dimaksudkan ternyata sudah pindah ke lokasi lain gara-gara sepi pembeli. Konon penjualnya berniat menjual komoditi yang halus-halus saja, entah apa maksudnya. Tak lupa pula dengan pohon besar yang dimaksud, juga telah jadi korban semena-mena dari gergaji mesin karena dahan dan daunnya yang lebat mengganggu jaringan kabel listrik dan telepon. Tentang Kembang Nanas? Hm, rupanya lain yang dimaksud dengan apa yang ditemukan, karena menurut reportase singkat rekan Ami dari TKP ternyata Nanas yang satu ini merupakan varian unggul dari Hawai, yang katanya lebih mantap dengan duri-durinya yang besar dan tajam dan konon rasanya lebih legit. Polisi tidur? Ah, entah sudah berapa puluh kali “gajlukan” itu kami lewati sehingga malas untuk mengingatnya.
Apesnya, rekan ini lupa memberikan berita terkini dan terpercaya tersebut sebagai sumber informasi terbaru bagi kami untuk mencari rumahnya. Padahal biasanya, dia itu paling rajin memberikan breaking news tentang si artis ini sudah bercerai gara-gara kasus selingkuh plus KDRT padahal baru menikah dua bulan (konon nikahnya di Mekkah), atau si artis itu yang telah menikah siri di Bali dengan vokalis ganteng dari grup band terkenal, dan segala berita-berita gosip terbaru lainnya. Apes yang kedua adalah ketika kami berhasil menemui seorang petugas keamanan berbadan kekar dengan kumis tebal melintang seperti kumisnya pak DJ tapi berhati lembut. Beliau kami dapati sedang santai dan mencabuti bulu hidungnya di bawah pohon asam. “Pak, tahu letak rumahnya bu Dewi Meong?”, tanya saya sopan sambil membuka kaca mobil. “Blok apa dan nomer berapa, pak?”, sahutnya tak kalah sopan pula. Nah, disitu lah letak permasalahnya. Maka pak DJ eh, petugas keamanan tersebut kontan terjangkit penyakit bingung ketika kami tanyai dengan ancer-ancer yang amburadul versi rekan kami tadi dan menganggap kami nggak lebih pintar dari anak SD!
Akhirnya kami memutuskan untuk balik arah pulang setelah hampir empat puluh lima menit lebih kelimpungan mencari alamat yang dimaksud, dan hari pun juga semakin malam. “Bun gantian nyetir ya.., ayah capek”, kata saya kepada istri di sebelah yang masih sibuk adu argumentasi tentang ancer-ancer rumah yang diberikan via hape dengan si rekan wanita tadi. “Uhm, boleh…”, sahutnya nggak keberatan sambil mematikan teleponnya. Jalanan sepi dan saya menepi. Tanpa membuka pintu mobil saya beringsut ke jok penumpang sementara istri saya sedikit mengangkat tubuhnya. “Aa…aah ayah niiih.., ribet deh. Kenapa nggak mau keluar dan masuk dari sebelah kiri aja siiih..?” hihihi, agak kesal dia rupanya. Tapi dibandingkan dengan saya yang nyetir dari ujung ke ujung, siapa yang lebih capek hayooo? Maka kami pun berganti posisi.
Dia agak mengangkat pantatnya untuk memberikan saya ruang agar bisa menempati kursi sebelah kiri, sambil mengangkat kaki kanannya siap-siap mendarat ke jok kemudi. Ups, terjadi insiden kecil, yaitu gesekan kinetis. Seperti layaknya hukum fisika, bahwa gesekan yang terjadi antara dua buah benda bisa menimbulkan panas. Teori itu menimpa saya. “Sebentar sayang, jangan buru-buru..”, ah, tanpa disadari saya mendesah! Ternyata gesekan pantat tersebut menimbulkan gairah panas si kecil di bawah sana, apalagi ditambah dengan parfumnya yang menyergap hidung (tapi pas diingat-ingat, waktu itu kok kayaknya dia sengaja ya..?!) Hmmm.. tangan saya nggak bisa diam. Merayap, meremas dan menjelajah hingga protes kecil terlontar dari bibir mungilnya, berbisik. “Sssst…, ntar kalau ada orang lewat gimana?”
Kira-kira sebulan yang lalu ketika sedang mencari-cari alamat seorang rekan yang pindah rumah ke komplek baru di pinggiran Jakarta, saya dan istri sampai kepayahan karena alamat yang diberikan sungguh-sungguh nggak jelas dan bikin pusing tujuh belas keliling. “Pokoknya, begitu masuk gerbang ikuti aja jalan utama, nanti ketemu bundaran langsung belok kanan. Pas gang ke-empat belok kiri, masuk aja lurus sampai ketemu pohon gede dan kebun nanas yang lagi berkembang. Nah, kalau udah ketemu langsung belok kanan. Oiya, jangan lupa ngitung kalau udah nglewatin tujuh belas polisi tidur, di sebelah kanan ada gerobak Rujak Ulek pas di depan rumah. Nah itu rumah gue”, terangnya mencoba secara rinci di telepon ketika kami menghubungi dua hari sebelumnya.
Benar-benar alamat yang sulit. “Blok apa dan nomor berapa?”, kejar saya penasaran. Lucunya, rekan tersebut belum terlalu hafal dengan blok rumah yang baru ditempatinya 5 hari yang lalu, karena rumah dan segala kwitansi pembelian sudah diurus suaminya dan si rekan tersebut tinggal menempati dan mengatur isinya saja. “Ngggg… apa yaaa? Udah deh, pokoknya aja ikutin petunjuk gue, pasti nyampe..”, sekali lagi dia mencoba meyakinkan kami. Oke lah, kami akan mencoba mencarinya. Maka perjuangan itu pun dimulai.
Sesuai kekhawatiran sejak awal, kami benar-benar nggak ketemu dengan rumah sesuai ancer-ancernya karena gerobak Rujak Ulek yang dimaksudkan ternyata sudah pindah ke lokasi lain gara-gara sepi pembeli. Konon penjualnya berniat menjual komoditi yang halus-halus saja, entah apa maksudnya. Tak lupa pula dengan pohon besar yang dimaksud, juga telah jadi korban semena-mena dari gergaji mesin karena dahan dan daunnya yang lebat mengganggu jaringan kabel listrik dan telepon. Tentang Kembang Nanas? Hm, rupanya lain yang dimaksud dengan apa yang ditemukan, karena menurut reportase singkat rekan Ami dari TKP ternyata Nanas yang satu ini merupakan varian unggul dari Hawai, yang katanya lebih mantap dengan duri-durinya yang besar dan tajam dan konon rasanya lebih legit. Polisi tidur? Ah, entah sudah berapa puluh kali “gajlukan” itu kami lewati sehingga malas untuk mengingatnya.
Apesnya, rekan ini lupa memberikan berita terkini dan terpercaya tersebut sebagai sumber informasi terbaru bagi kami untuk mencari rumahnya. Padahal biasanya, dia itu paling rajin memberikan breaking news tentang si artis ini sudah bercerai gara-gara kasus selingkuh plus KDRT padahal baru menikah dua bulan (konon nikahnya di Mekkah), atau si artis itu yang telah menikah siri di Bali dengan vokalis ganteng dari grup band terkenal, dan segala berita-berita gosip terbaru lainnya. Apes yang kedua adalah ketika kami berhasil menemui seorang petugas keamanan berbadan kekar dengan kumis tebal melintang seperti kumisnya pak DJ tapi berhati lembut. Beliau kami dapati sedang santai dan mencabuti bulu hidungnya di bawah pohon asam. “Pak, tahu letak rumahnya bu Dewi Meong?”, tanya saya sopan sambil membuka kaca mobil. “Blok apa dan nomer berapa, pak?”, sahutnya tak kalah sopan pula. Nah, disitu lah letak permasalahnya. Maka pak DJ eh, petugas keamanan tersebut kontan terjangkit penyakit bingung ketika kami tanyai dengan ancer-ancer yang amburadul versi rekan kami tadi dan menganggap kami nggak lebih pintar dari anak SD!
Akhirnya kami memutuskan untuk balik arah pulang setelah hampir empat puluh lima menit lebih kelimpungan mencari alamat yang dimaksud, dan hari pun juga semakin malam. “Bun gantian nyetir ya.., ayah capek”, kata saya kepada istri di sebelah yang masih sibuk adu argumentasi tentang ancer-ancer rumah yang diberikan via hape dengan si rekan wanita tadi. “Uhm, boleh…”, sahutnya nggak keberatan sambil mematikan teleponnya. Jalanan sepi dan saya menepi. Tanpa membuka pintu mobil saya beringsut ke jok penumpang sementara istri saya sedikit mengangkat tubuhnya. “Aa…aah ayah niiih.., ribet deh. Kenapa nggak mau keluar dan masuk dari sebelah kiri aja siiih..?” hihihi, agak kesal dia rupanya. Tapi dibandingkan dengan saya yang nyetir dari ujung ke ujung, siapa yang lebih capek hayooo? Maka kami pun berganti posisi.
Dia agak mengangkat pantatnya untuk memberikan saya ruang agar bisa menempati kursi sebelah kiri, sambil mengangkat kaki kanannya siap-siap mendarat ke jok kemudi. Ups, terjadi insiden kecil, yaitu gesekan kinetis. Seperti layaknya hukum fisika, bahwa gesekan yang terjadi antara dua buah benda bisa menimbulkan panas. Teori itu menimpa saya. “Sebentar sayang, jangan buru-buru..”, ah, tanpa disadari saya mendesah! Ternyata gesekan pantat tersebut menimbulkan gairah panas si kecil di bawah sana, apalagi ditambah dengan parfumnya yang menyergap hidung (tapi pas diingat-ingat, waktu itu kok kayaknya dia sengaja ya..?!) Hmmm.. tangan saya nggak bisa diam. Merayap, meremas dan menjelajah hingga protes kecil terlontar dari bibir mungilnya, berbisik. “Sssst…, ntar kalau ada orang lewat gimana?”
Akibat koefisien gesek tadi, timbullah panas yang membutakan mata sekaligus membangkitkan gairah usaha saya, yaitu usaha untuk mencapai kenikmatan. Adalah W = F x S. Dimana W = Wusaha, F = Fosisi Bercinta dan S = Seks. Terjemahan bebasnya menurut kamus online Boogle adalah, bagaimana mencari kepuasan seks dalam berbagai posisi dalam situasi darurat. Hehehe yang ini adalah dalil fisika modif ala Quickies, dan bukan rumus turunan dari Om Isaac Newton melainkan dari dari Mas Iskak Klepon.
Maka saya tak perduli. Tangan kiri menarik handle jok ke atas supaya posisi menjadi rebah, sementara tangan kanan sibuk mengusap, meremas, menyingkap dan menguak di kedalaman sana yang semakin lembab dan basah. Kedua tangannya pun tak tinggal diam, satu meremas rambut, dan yang satunya menarik retsleting celana yang sungguh membelenggu geliat kebebasan saya di bawah sana. Setelah proses pelepasan celana panjang dan cd-nya yang di saat-saat seperti ini justru terasa sangat mengganggu, terjadilah eksekusi itu! Terburu-buru, menggebu-gebu, dan sedikit liar ditambahi dengan perasaan was-was akan keadaan sekitar. Perlahan dengan jari kaki saya kecilkan volume musik, karena mengganggu orkestra yang dipersembahkan dari bibirnya. Dan sungguh, saya menikmatinya! Berayun, berpacu dan saling mengusap diiringi desahan simphony alami hingga akhirnya sampailah kami di titik pencapaian yang diidam-idamkan umat manusia itu. Aaaarrghhh…!! Tiga menit! Ya, tiga menit lewat sekian detik kami melakukan perjalanan indah itu, karena masih sempat mata ini melirik jam digital di mobil.
Jok saya kembalikan ke posisinya, dan dengan malas retsleting saya naikkan. Sementara istri saya dengan letih akhirnya berpindah ke posisi supir sambil merapikan roknya yang berantakan, dan mengacuhkan CD-nya yang tercampak layu bersama serpihan-serpihan tissue di karpet, tanpa berniat memakainya lagi.
Hmmm, sebentar saja saya memejamkan mata. Masih berusaha meraih pendar-pendar kenikmatan yang berdenyut di bawah sana, lalu tersenyum memandangi dia dengan penuh mesra sambil mengusap pipinya. Rambutnya yang tetap berantakan karena hanya dirapikan dengan tangan, bagi saya justru menambah pesona kecantikannya. Tapi itu tak berlangsung lama karena tiba-tiba, “Uhmm.., keknya bunda masih lemes deh.. So, ayah aja yang nyetir yaaaa…”, ujarnya manja sambil tangannya meremas si kecil yang masih berdenyut. Alamak! Gimana sih?, sungut saya sebal sekaligus tersenyum geli melihat ekspresinya. Tapi saya mencoba maklum, mungkin energinya banyak terkuras gara-gara posisi WOT tadi.
Akhirnya tetep, saya juga yang bawa mobil pulang dan melupakan rasa penat akibat perjalanan jauh dan berputar-putar gara-gara alamat sialan itu, dan juga rasa penat lain akibat kejadian di luar dugaan tadi. Walhasil, selama perjalanan pulang malah istri saya yang rebah dengan damai di jok sebelah kiri, sambil tak lupa berbisik, “Ayah hati-hati nyetirnya ya, bunda mo bobo dulu…”, tak lupa dia berikan kecupan mesra di pipi. Hmmph..! Masih mau bersungut-sungut? Nggak lah! Apalagi selama perjalanan dia memberikan bonus berupa pegangan tangannya yang bermain di perseneling kedua, selain mobil. Hehehe…!
Akhirnya sampai di rumah, dan anak kami satu-satunya ternyata sudah tertidur pulas di sofa dengan acara Animal Planet yang masih menayangkan Elang yang berputar-putar di udara sedang mengintai ular di darat. Sempat terbersit di kepala. Ah, kasihan ular tersebut, dijadikan santapan Sang Burung Elang. Sungguh malang nasibnya dibandingkan dengan ular saya yang telah dimangsa Burung Elang lain yang cantik. Setelah ganti pakaian dan bersih-bersih apa yang perlu dibersihkan akibat seks kilat tadi, kami bersiap tidur. Tapi, begitu melihat istri saya berbaring dengan posisi kaki mengapit guling itu membuat saya kembali bergairah! Kilauan paha menawan yang mengintip dari gaun tidurnya itu seolah mengundang untuk dieksplorasi. Tanpa menunda waktu lagi dan tak berniat ber-quick sex kali ini, saya kecup perlahan mulai dari betis, paha dan terus ke atas, sambil tangan ini menelusup dan bermain di bongkahan bukit di ujung sana. Dia menggeliat sambil melenguh, “Aaaah… ayaaaah…”, hmm, pura-pura pasti. Soalnya sambil menggeliat tangannya malah merengkuh leher meskipun matanya merem dan bibirnya cemberut. Hihihihi…, women!
Maka saya tak perduli. Tangan kiri menarik handle jok ke atas supaya posisi menjadi rebah, sementara tangan kanan sibuk mengusap, meremas, menyingkap dan menguak di kedalaman sana yang semakin lembab dan basah. Kedua tangannya pun tak tinggal diam, satu meremas rambut, dan yang satunya menarik retsleting celana yang sungguh membelenggu geliat kebebasan saya di bawah sana. Setelah proses pelepasan celana panjang dan cd-nya yang di saat-saat seperti ini justru terasa sangat mengganggu, terjadilah eksekusi itu! Terburu-buru, menggebu-gebu, dan sedikit liar ditambahi dengan perasaan was-was akan keadaan sekitar. Perlahan dengan jari kaki saya kecilkan volume musik, karena mengganggu orkestra yang dipersembahkan dari bibirnya. Dan sungguh, saya menikmatinya! Berayun, berpacu dan saling mengusap diiringi desahan simphony alami hingga akhirnya sampailah kami di titik pencapaian yang diidam-idamkan umat manusia itu. Aaaarrghhh…!! Tiga menit! Ya, tiga menit lewat sekian detik kami melakukan perjalanan indah itu, karena masih sempat mata ini melirik jam digital di mobil.
Jok saya kembalikan ke posisinya, dan dengan malas retsleting saya naikkan. Sementara istri saya dengan letih akhirnya berpindah ke posisi supir sambil merapikan roknya yang berantakan, dan mengacuhkan CD-nya yang tercampak layu bersama serpihan-serpihan tissue di karpet, tanpa berniat memakainya lagi.
Hmmm, sebentar saja saya memejamkan mata. Masih berusaha meraih pendar-pendar kenikmatan yang berdenyut di bawah sana, lalu tersenyum memandangi dia dengan penuh mesra sambil mengusap pipinya. Rambutnya yang tetap berantakan karena hanya dirapikan dengan tangan, bagi saya justru menambah pesona kecantikannya. Tapi itu tak berlangsung lama karena tiba-tiba, “Uhmm.., keknya bunda masih lemes deh.. So, ayah aja yang nyetir yaaaa…”, ujarnya manja sambil tangannya meremas si kecil yang masih berdenyut. Alamak! Gimana sih?, sungut saya sebal sekaligus tersenyum geli melihat ekspresinya. Tapi saya mencoba maklum, mungkin energinya banyak terkuras gara-gara posisi WOT tadi.
Akhirnya tetep, saya juga yang bawa mobil pulang dan melupakan rasa penat akibat perjalanan jauh dan berputar-putar gara-gara alamat sialan itu, dan juga rasa penat lain akibat kejadian di luar dugaan tadi. Walhasil, selama perjalanan pulang malah istri saya yang rebah dengan damai di jok sebelah kiri, sambil tak lupa berbisik, “Ayah hati-hati nyetirnya ya, bunda mo bobo dulu…”, tak lupa dia berikan kecupan mesra di pipi. Hmmph..! Masih mau bersungut-sungut? Nggak lah! Apalagi selama perjalanan dia memberikan bonus berupa pegangan tangannya yang bermain di perseneling kedua, selain mobil. Hehehe…!
Akhirnya sampai di rumah, dan anak kami satu-satunya ternyata sudah tertidur pulas di sofa dengan acara Animal Planet yang masih menayangkan Elang yang berputar-putar di udara sedang mengintai ular di darat. Sempat terbersit di kepala. Ah, kasihan ular tersebut, dijadikan santapan Sang Burung Elang. Sungguh malang nasibnya dibandingkan dengan ular saya yang telah dimangsa Burung Elang lain yang cantik. Setelah ganti pakaian dan bersih-bersih apa yang perlu dibersihkan akibat seks kilat tadi, kami bersiap tidur. Tapi, begitu melihat istri saya berbaring dengan posisi kaki mengapit guling itu membuat saya kembali bergairah! Kilauan paha menawan yang mengintip dari gaun tidurnya itu seolah mengundang untuk dieksplorasi. Tanpa menunda waktu lagi dan tak berniat ber-quick sex kali ini, saya kecup perlahan mulai dari betis, paha dan terus ke atas, sambil tangan ini menelusup dan bermain di bongkahan bukit di ujung sana. Dia menggeliat sambil melenguh, “Aaaah… ayaaaah…”, hmm, pura-pura pasti. Soalnya sambil menggeliat tangannya malah merengkuh leher meskipun matanya merem dan bibirnya cemberut. Hihihihi…, women!
Maka kembalilah terjadi perpaduan rasa cinta dan sayang ini yang diwujudkan dengan menyatunya tubuh kami. Keringat mulai mengucur dan desah nafas berserabutan dari hidung dan bibir, seiring gerakan yang semakin liar, semakin cepat. Gesekan lembut dan jepitan hangat dari dinding lembab itu membuat saya seolah berada di dunia lain. Smash-smash tajam dan drop shot yang saya lontarkan pun disambut dengan goyangan yang semakin cepat, semakin cepat.
Di tengah pendakian kami menuju puncak, tiba-tiba pintu diketok oleh Si Ucrit Similikthi, rupanya dia terbangun dan menyadari orang tuanya sudah di rumah dan mengunci diri di kamar (biasanya kami jarang mengunci pintu kamar, karena sewaktu-waktu dia suka bermigrasi dari kamar pribadinya). Kami terdiam menahan desahan dari bibir masing-masing, saling berpandangan tapi tetap melakukan aktifitas pengeboran dan pengulekan hingga akhirnya ketokan semakin nyaring dibarengi teriakan, “ayaaaaaah…., bundaaaaaa…, aku mau tidur di daleeem…!!”, jeritnya. Istri saya menyahut, “Iyaaa bentarrrrr…, bunda lagi ganti bajuuu…”, hihihi ada tukang tepu lagi beraksi meskipun sambil terengah karena desakan birahi yang meronta ingin segera dibebaskan. Dia terus menyambut, menggoyang, memeluk erat dan dinding itu mencengkeram semakin kuat hingga akhirnya, hmmmpp…. uggghhhh…! Sampai lah kami di puncak semburan dasyat dan rembesan cinta tepat di saat detik-detik terakhir si Ucrit Similikithi ini makin intens ngetok-ngetok sambil memainkan handle pintu. Huaaah…!! Maksud hati nggak berniat quick sex, tapi yang terjadi malah sebaliknya gara-gara gangguan sinyal..!
Akhirnya pintu terbuka. Dengan cemberut anak semata wayang kami ini masuk dan langsung nyungsep diantara ayah-bundanya, tapi mengacuhkan saya (kasihan deh loe) yang berusaha tersenyum manis meski terasa janggal ke arahnya. Sempat melirik jam dinding dan mengira-ngira berapa menit tadi kami bertempur, hingga akhirnya sampai pada kesimpulan, lagi-lagi 3 menit lewat sekian detik (Eh, tapi ini quickies ya. Jadi tolong jangan dianggap kami ini penderita Edi Tansil lho hehehe… ). Selang berapa saat, istri saya beringsut, mengecup bibir dan berbisik, “Good night sweat, have a nice dream..” Aahhh…, saya pun membalasnya mesra dengan penuh cinta sambil tak lupa meremas lembut, “Kamu juga chayank, trims ya buat hari yang indah ini…” Dan kami pun tertidur menyusul Si Ucrit, dengan senyum berbayang di bibir.
Di tengah pendakian kami menuju puncak, tiba-tiba pintu diketok oleh Si Ucrit Similikthi, rupanya dia terbangun dan menyadari orang tuanya sudah di rumah dan mengunci diri di kamar (biasanya kami jarang mengunci pintu kamar, karena sewaktu-waktu dia suka bermigrasi dari kamar pribadinya). Kami terdiam menahan desahan dari bibir masing-masing, saling berpandangan tapi tetap melakukan aktifitas pengeboran dan pengulekan hingga akhirnya ketokan semakin nyaring dibarengi teriakan, “ayaaaaaah…., bundaaaaaa…, aku mau tidur di daleeem…!!”, jeritnya. Istri saya menyahut, “Iyaaa bentarrrrr…, bunda lagi ganti bajuuu…”, hihihi ada tukang tepu lagi beraksi meskipun sambil terengah karena desakan birahi yang meronta ingin segera dibebaskan. Dia terus menyambut, menggoyang, memeluk erat dan dinding itu mencengkeram semakin kuat hingga akhirnya, hmmmpp…. uggghhhh…! Sampai lah kami di puncak semburan dasyat dan rembesan cinta tepat di saat detik-detik terakhir si Ucrit Similikithi ini makin intens ngetok-ngetok sambil memainkan handle pintu. Huaaah…!! Maksud hati nggak berniat quick sex, tapi yang terjadi malah sebaliknya gara-gara gangguan sinyal..!
Akhirnya pintu terbuka. Dengan cemberut anak semata wayang kami ini masuk dan langsung nyungsep diantara ayah-bundanya, tapi mengacuhkan saya (kasihan deh loe) yang berusaha tersenyum manis meski terasa janggal ke arahnya. Sempat melirik jam dinding dan mengira-ngira berapa menit tadi kami bertempur, hingga akhirnya sampai pada kesimpulan, lagi-lagi 3 menit lewat sekian detik (Eh, tapi ini quickies ya. Jadi tolong jangan dianggap kami ini penderita Edi Tansil lho hehehe… ). Selang berapa saat, istri saya beringsut, mengecup bibir dan berbisik, “Good night sweat, have a nice dream..” Aahhh…, saya pun membalasnya mesra dengan penuh cinta sambil tak lupa meremas lembut, “Kamu juga chayank, trims ya buat hari yang indah ini…” Dan kami pun tertidur menyusul Si Ucrit, dengan senyum berbayang di bibir.
Hihihi…! Masih suka senyum-senyum sendiri jika ingat, apa yang terjadi malam itu adalah gara-gara akibat dari gesekan si supir pengganti…
Salam Catatan Cerita.
Salam Catatan Cerita.